KISAH HIKMAH - Abdurrahman Ad-Dakhil Sang Rajawali Quraisy

Abdurrahman Ad-Dakhil Sang Rajawali Quraisy



Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan salah seorang keluarga istana Bani Umayyah memegang tampuk kekhilafahan selama 90 tahun. Selama itu, kekuasaan Bani Umayyah membentang antara tembok Cina di timur hingga “pilar-pilar herkules” dan Pegunungan Pyrenees (perbatasan antara Prancis dan Spanyol) dibarat. Meskipun demikian, pada saat itu kekuasaan Bani Umayyah semakin lemah dan akhirnya tahta kerajaan hilang dari tangan mereka. Selanjutnya kematian mengancam mereka, bahkan hampir saja Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi mangsa kejahatan orang-orang Abbasiyah.

Saat itu para keturunan Bani Umayyah yang tersisa jiwanya terancam dan tidak merasa aman. Saat itu, di hadapan Abdurrahman Ad-Dakhil hanya ada dua pilihan: menyerah kepada Bani Abbasiyah sehingga akan mengalami seperti keluarganya yang lain dan para pengikutnya (dibunuh oleh pasukan Bani Abbasiyah), atau mencoba kabur dan keluar dari kepungan mereka.

Saat itu orang-orang Abbasiyah menargetkan keturunan Bani Umayyah untuk mereka bunuh. Abdurrahman Ad-Dakhil menceritakan:

“Suatu ketika kami dijanjikan perlindungan keamanan, tetapi akhirnya kami di khianati di sungai Abu Futhrus. Disana orang-orang kami di bunuh. Kabar pembunuhan itu sampai kepada kami. Saat itu aku sedang bersembunyi dari pasukan Abbasiyah. Aku segera pulang ke rumah dengan rasa putus asa dan ketakutan. Aku segera mengumpulkan barang-barang yang dapat aku bawa sebagai bekal untukku dan keluargaku. Aku keluar dari rumah dengan rasa takut yang mencekam. Aku pergi menuju sebuah desa yang rindang dekat sungai Efrat.

Suatu ketika di desa itu anakku yang baru berumur empat tahun bernama Sulaiman sedang bermain di sisiku. Beberapa saat kemudian dia keluar dan menghilang, lalu masuk lagi melalui pintu rumah sambil menangis ketakutan. Aku menggendongnya dan dia mendekapku. Aku segera menengok keluar, ternyata suasana saat itu begitu menakutkan, karena pasukan Abbasiyah dengan panji-panji hitam sedang masuk bergerak masuk ke desa. Melihat hal itu, adikku yang berusia masih remaja berteriak, “Selamatkan diri, selamatkan diri itu adalah bendera pasukan Abbasiyah.”

Aku mengambil beberapa keping uang dinar dan menyelamatkan diri bersama adikku. Aku memberi tahu saudari-saudariku kemana aku akan pergi. Lalu aku memerintahkan kepada mereka dan budakku yang bernama Badr agar menyusulku. Kuda-kuda pasukan Abbasiyah mengitari desa tetapi mereka tidak menemukan jejakku. Akan tetapi salah seorang budaknya melihatku dan memberi tahukan keberadaanku kepada pasuka Abbasiyah. Mendengar informasi ini, pasukan Abbasiyah segera mengejarku. Aku dan adikku berlari, sementara pasukan berkuda Abbasiyh mengejar dan mencari-cari kami.

Akhirnya kami sampai di tengah perkebunan di tepi sungai Efrat. Tak lama kemudian , pasukan kuda Abbasiyah berhasil menyusul kami. Tanpa fikir panjang kami langsung terjun  berenangan ke sungai, sementara pasukkan Abbasiyah berteriak memanggil kami agar kembali dengan jaminan keamanan  dari mereka, akan tetapi aku tidak mau kembali. Adapun adikku dia tidak pandai berenang, ketika sampai di tengah sungai dan mendengar panggilan pasukan Abbasiyah, dia lebih memilih kembali dengan harapan jaminan keamanan yang mereka janjikan. Tetapi setelah dia sampai kepada mereka, justru mereka menangkapnya dan membunuhnya, sementara aku hanya melihatnya dari seberang sungai. Adikku saat itu baru berumur 13 tahun. Aku sangat sedih melihatya terbunuh. Setelah itu aku bersembunyi di hutan. Saat kurasa mereka sudah berhenti mencariku, aku keluar melanjutkan perjalanan dengan tujuan negeri Maroko, akhirnya aku pun bisa sampai di Afrika.

Membangun kekuasaan Dalam Pelarian

Pada usia 21 tahun, Abdurrahman Ad-Dakhil berperawakan tinggi, kuat, dia seorang yang pemberani. Dalam pelarian, dia mengirim surat kepada para gubernur masa kekuasaan Bani Umayyah yang ada di Andalusia. Surat itu di bawa olehh budak setianya yang bernama Badr. Dengan pendekatan seperti ini orang-orang suku Yaman mengumumka kesetiaan mereka kepadanya.

Sedikit demi sedikit, Abdurrahman Ad-Dakhil mulai menggalang pasukannya. Usahanya ini  disambut dengan antusias oleh suku-suku arab yang terdapat di Andalusia, khususnya di Sevilla. Akhirnya, pasukan Abdurrahman Ad-Dakhil siap melancarkan serangan ke Cordoba.

Saat itu, Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihri, gubernur Cordoba yang ditunjuk oleh Dinasti Abbasiyah, sudah menyiapkan pasukkannya untuk menyambut kedatangan Abdurrahman Ad-Dakhil dan pasukannya. Dalam pertempuran di dekat sungai Al-Wadi Al-Kabir (Quadalquivir), pasukan Abdurrahman Ad-Dakhil dapat memenangkannya. Selanjutnya dalam waktu kurang satu tahun Ad-Dakhil berhasil masuk ke Cordoba dengan membawa kemenangan yang gemilang mengusir seluruh pesaingnya. Ad-Dakhil berhasil menyatukan seluruh negeri Andalus di bawah Panji kekuasaannya. Dengan kekuatan, kecerdikan dan kekuatan tekadnya, dia berhasil mengatasi kesulitan yang dia hadapi dan mampu meniptakan kestabilan dan keamanan di seluruh penjuru negeri Andalusia.

Untuk mengembalikan Andalus ke dalam kekuasaan Abbasiyah, lagi-lagi khalifah Bani Abbasiyah mengirimkan pasukannya dengan di pimpin oleh panglima yang bernama Ibnu Mughits Al-Yahshabi dari Afrika untuk menghabisi Abdurrahamn Ad-Dakhil. Akan tetapi, Ad-Dakhil berhasil mengatasinya dan berhasil membasmi 7000 pasukan Al-Yahshabi.

Selanjutnya khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tidak mampu lagi mengembalikan negeri Andalus yang kaya ke dalam kekuasaan Bani Abbasiyah. Abu Ja’far Al-manshur pun mulai takjub kepada Abdurrahman Ad-Dakhil. Itulah kemampuan Ad-Dakhil meskipun dia dalam pelarian tetapi mampu membangun kembali kerajaan Andalus. Suatu hari , khalifah Abu  Ja’far Al-Manshur bertanya kepada para bawahannya, “Beritahu aku siapa yang di maksud dengan Shaqr Quraisy (Rajawali Quraisy) ??

Meraka menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah orang yang menundukkan kerajaannya, meredakan pembrontakan, memperbaiki kerusakan, dan membasmi musuh-musuhnya.”

“Kalian belum menjawab apapun,” Kata Abu Ja’far. Mereka menjawab, “Dia pasti Mu’awiyah.” “Bukan yang ini.” Kata Abu ja’far. Akhirnya Abu Ja’far menjawab, “Dia tidak lain adalah Abdurrahman bin Mu’awiyah yang telah menyeberangi lautan, melintasi padang tandus, masuk ke negeri asing sendirian, mendiami kota demi kota, membentuk pasukan dan kementrian, serta mendirikan kembali kerajaannya setelah sempat terputus, dengan pengaturan dan pengendalian yang bagus.

 "AMR BIN ‘ASH ( Pembebas Mesir Dari Cengkeraman Romawi ) "

Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama