Cerpen ISLAMI - "Cintaku Karena Allah" -


- "Cintaku Karena Allah" -


Sinar sang surya telah meninggi di atas jam 12.00 WIB, surya yang sangat terik, tak ada awan yang menghalanginya, tak ada 1 burung pun yang terlihat melintasi langit, tak ada angin sejuk yang meraba dan membelai rambutku, hanya suhu panas yang kurasakan. Yang terlihat di langit hanyalah matahari dan langit berwarna biru. Ada yang mengeluh dan mencerca cuaca seperti ini. Adzan berkumandang dengan merdunya terdengar di telinga setiap umat, suara terindah yang selalu kudengar kala 5 waktu datang. Suara yang menggugah hati orang-orang mulia, mengajaknya untuk terus menapaki jalan Allah SWT.

Adzan adalah angin sejuk yang merambah ke hati dan pikiranku. Tak ada angin, Adzan pun jadi. “Yusuf, tak dengarkah engkau panggilan Allah, anak muda? Cepatlah dan segeralah pergi ke tempat yang mulia, maka engkau akan mendapatkan ketenangan disana, nak!”. Ibuku menasihatiku dengan suara lembut nan menyentuh relung hatiku, menambah sejuk hatiku. Oh, ibuku yang kucintai, ibuku yang selalu menasihati aku untuk selalu menjadi seorang pemuda baik, soleh dan pintar. Ummi sayyidah. “Baiklah Bu, Yusuf akan memenuhi panggilan itu karena Allah.”. Ibuku sangat perhatian padaku meskipun usiaku sudah 20 tahun. Andai saja Ayah masih ada. Ya-Rabb…

Selesai sholat dzuhur berjamaah di masjid aku menyelesaikan tugas kuliahku, meskipun ini hari libur aku tak akan membuang waktu ku. Aku akan pergunakkanya dengan sebaik-baikya, aku ingin menjadi pemuda yang yang berguna bagi diriku sendiri, ibuku, keluargaku, bangsaku dan negaraku bahkan agamaku. Itulah cita-citaku. Tak lama kemudian, kakakku dan teman-temanya datang bersama perempuan-perempuan nakal yang berpakaian ala Barat dan menor sekali. Kakaku sering sekali membawa serombongan teman-temanya datang ke rumah. Entah apa yang dilakukanya, yang aku tahu menyetel musik dangdut punk, dengan rok*k di tangan kiri, minuman alkohol di tangan kanan, kulit-kulit kacang berserakan, dan perempuan-perempuan nakal yang menghiburnya.
Aku sering tidak tahan dengan tingkah kakakku ini, ingin rasanya aku membawa ibuku pergi sejauh-jauhnya hingga tak kita temukan lagi maksiat. Tapi Ibu selalu melarangku, Ibu selalu menyuruhku sabar, sabar dan sabar. Menjadi pemuda yang sabar menghadapi pemuda bajingan, begitu tepatnya. Kakakku yang sekarang bukan lagi kakakku yang dulu aku kenal. Dulu ia sangat baik sekali, tapi semenjak Ayah meninggal Ia jadi Brutal seperti ini. Menjadi pemuda pemabuk, dan suka main perempuan. Tak pernah Ia mendengarkan kata-kata Ibu, Ia selalu melawan, Anak durhaka.

“uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk Ibuku yang sudah lanjut usia berumur 56 tahun. Aku sedih, ibuku yang selalu mengajariku untuk menjadi pemuda yang kuat, tangguh dan tak mudah putus asa, kini Ia mengidap penyakit liver, hatiku sedih bukan main ketika aku mendengar berita buruk ini dari salah seorang dokter langganan Ayah dulu yang merupakan teman karib Ayah sekaligus Ayah dari teman seFakultas denganku. Anaknya bernama Zahra. Nama yang dapat menggetarkan hatiku. “uhuk, uhuk, uhuk…” Ibu terus batuk-batuk. Ibu batuk lalu mengeluarkan darah dari mulutnya, aku tersentak, aku bingung apa yang harus aku lakukan, karena ini masih jam 04.00 WIB, aku menelpon Dokter, tak diangkat. Apa yang harusnya aku lakukan sebagai pemuda yang bertanggung jawab. Tanyaku dalam hati.

“uhuk, uhuk, uhuk…” suara batuk ibu membuat air mataku pecah tak tertahan lagi. Kali ini Ibu angkat bicara “nak, kau menangis?” tanya Ibuku, aku tak mampu menjawab. “kenapa kau menangis? Kamu ini seorang pemuda yang pemberani, dan tak cengeng. Kenapa kamu harus menangis?” sanggah Ibu membuat aku harus membendung air mata yang mengalir di tangan Ibuku. “uhuk, uhuk, uhuk…” kali ini lebih keras. “Diam brisik. Nggak tau orang lagi tidur apa? Suara batukmu itu menggangu tidurku tau!!!” celetukan kasar dan keras kakak yang terbangun dari tidurnya karena terganggu batuk Ibu, membuat darahku menjadi naik. Aku berdiri lalu beranjak ke kamar pemuda brengsek itu dengan hati marah tiada terkira. Kugedor-gedor pintu kamarnya yang terkunci rapat. “Dorrr… Dorrr…. Dorr..” dengan keras. Bajingan itu membuka pintu kamarnya dengan mata sayu, rambut acak-acakan, dan badanya yang bau karena mabuk semalaman. Kutarik kerah bajunya, kubanting Ia di atas tempat tidurnya. “TAK TAU KAH KAMU BAJINGAN, IBU SEDANG SAKIT PARAH, JANGAN KAU BENTAK IBU, BAJINGAAANN!!!” aku pukul wajahnya yang putih, hingga Ia tak sadarkan diri.

Sejenak ku menatap wajah Ibu yang meneteskan air matanya, Ia berdiri di pintu dengan pisau di tangan kananya. “Nak, bunuh Ibu, bunuh Ibu, Ibu tak sanggup lagi melihat kalian bertengkar. Bunuh Ibu.”. ibu menangis sambil memberikan pisau itu kepadaku, aku tak bisa berkata-kata lagi, aku terdiam mematung, oh, Ibu… aku bersujud di depan Ibu, aku memeluk Kaki Ibu, aku minta maaf padanya, aku menangis sejadi-jadinya. Pemuda macam apa aku ini. Aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri. Aku merasa aku bukan pemuda yang sesungguhnya. Aku ini siapa saat ini.

Disela-sela jadwal kuliah yang lumayan padat, aku juga terus mencari uang untuk biaya hidupku, dan ibuku, sebagai seorang pemuda yang selalu menjaga Ibunya. Aku bekerja sebagai kuli panggul di pasar, kadang jika ada tawaran, aku ambil. Gajiku memang tak seberapa, tapi cukup untuk membiayai hidup dan kuliahku. Aku tak keberatan dengan pekerjaan sementaraku ini, terkadang teman-teman mengejeku tapi aku bangga dengan kehidupanku, aku masih bisa hidup dengan layak dan masih bisa mengenyam pendidikan sampai kuliah. Toh, pekerjaanku ini halal. Aku ingin menjadi pemuda yang tidak mudah menyerah, dan putus asa. Aku ingin menjadi pemuda yang terus berjuang dan tak penah mengeluh.

“Yusuf…” teriak seorang gadis berjilbab berwarna biru muda, warna yang teduh. Ternyata aku sangat mengenaknya. Seorang wanita yang selalu menggetarkan hatiku ketika aku melihat dan mendengar namanya. “Zahra…!!!” teman satu fakultas denganku, anak seorang Dokter langganan Ayahku dulu sekaligus sahabat karibnya. Zahra, wanita yang cantik, pintar, baik, dan solehah. Tak heran jika pemuda sepertiku tertarik padanya. “Assalamualaikum Yusuf”, “walaikumsalam, ada apa Zahra? Kenapa kamu menghampiriku di pasar? Aku sedang kerja. Apa kamu tidak malu berbicara dengan pemuda tukang kuli sepertiku ini?” jawabku dengan nada mengejeknya, “tidak, untuk apa malu, justru aku senang berbicara dengan seorang pemuda yang suka bekerja keras, pintar dan baik sepertimu.” Balasnya, membuat hatiku serasa berhenti berdetak, ternyata Ia balik mengejeku.
“Oh ya… Aku kesini ingin bertanya padamu. Apa benar Ibumu masuk ramah sakit sejak 3 hari yang lalu?”, tanyanya membuat aku sedikit kaget. Dari mana dia tahu. “E…e… Iya, benar. Dari mana kamu bisa tahu?”, “Ayahku yang memberitahu padaku. Ibumu sakit liver?”, tanyanya dengan wajah penasaran. Aku pun tak kalah bingung, kenapa dia bisa secemas itu. Kujawab “Iya”. Kemudian dia mengajakku untuk menjenguk Ibu di rumah sakit. Aku pun tak bisa menolak. Bagaimana bisa Aku menolak ajakan seseorang yang berniat menjenguk orang sakit. Bukankah itu tindakan yang mulia.

Aku dan Zahra pergi ke rumah sakit menaiki bus, karana jaraknya cukup jauh dari pasar. Di dalam bus kita tak mendapatkan duduk, terpaksa kita berdiri, walau sebenarnya Aku tak tega melihatnya berdiri. “Yusuf, Aku juga ingin menawari pekerjaan kepadamu. Pamanku mempunyai perusahaan, paman mendapat pesanan dari negeri seberang. Dia ingin kamu yang mengantarnya, karena paman sudah cukup mengenalmu. Bagaimana? Kau mau tidak?” Tanyanya dengan serius. “Aku pikir-pikir dulu”.

Sampai di rumah sakit, Zahra mencium tangan Ibu, mata keduanya basah. Aku juga menceritakan tawaran pekerjaan itu, aku tanya pada Ibu. Ibu mengizinkan, aku pun senang karena gajinya dapat kugunakan untuk biaya rumah sakit. Kondisi Ibu sudah membaik, maka Aku sedikit lega untuk meninggalkan Ibu. Apalagi Zahra menawarkan dirinya untuk menjaga Ibu selama Aku pergi. Aku bersyukur pada Tuhan, karena sudah diberi kemudahan hidup. Aku serasa menjadi pemuda yang bahagia.

Hari ini Ibu sudah boleh pulang. Aku berpamitan pada Ibu untuk pergi bvekerja di negeri seberang, dengan mata berkaca-kaca dan Ibu yang basah dengan derai air mata. Zahra yang berada di samping Ibu juga ikut menangis. Aku memang harus mampu hidup sendiri, sebagai pemuda yang mandiri. Aku lambaikan tangan pada Ibu dan Zahra. Kukatakan pada Ibu “Yusuf cinta Ibu karena Allah.”.



Rabu, 12 November, 10.21 WIB, Aku pulang ke kampung. Aku buku pintu rumahku yang seperti tak terawat lagi. Aku ucap salam, tak dijawab. Aku panggil Ibu, Ibu, Ibu. Tak ada jawaban. Ku ulang lagi. Aku mendengar suara tangisan kecil dari arah belakang, Aku berjalan ke belakang. Dan… Pemandangan yang mengerikan kulhat di sudut ruangan, seorang pemuda kurus kering, mata cekung, rambut panjang acak-acakan, dan tak memakai baju, hanya celana. Menekuk kakinya dan memeluk lututnya, Ia terus menangis. “Kakak.” “kakak, kau kenapa? Ibu dimana?” Aku bertanya berulang kali tetap tak Ia jawab. Baru Aku sadari bahwa kakakku gila dan buta. Aku sedih. Aku bawa kakakku ke rumah sakit jiwa. Aku pergi ke rumah Zahra, Aku bertanya pada Zahra dimana Ibu. Dia hanya diam seribu bahasa, hanya matanya yang berkaca-kaca. Ia menyerahkan sebuah surat padaku. “Surat dari Ibu”. Aku membukanya perlahan.

Untuk pemuda soleh, Anaku
Muhamad Yusuf Ali
Anaku, pemuda yang soleh, Ibu pergi tak selamanya pergi, Ibu pergi harus meneruskan perjalanan Ibu. Duhai anakku pemuda yang tampan, Ibu menunggumu di surga. Dan, nak, ketauhilah, Zahra sangat mencintaimu sejak mengenalmu, karena kau pemuda yang baik dan soleh. Nikahilah dia jika kau menghendakinya. Ibu merestuimu. “Ibu cinya Yusuf karena Allah.”
Ibumu

Oh, Ibu…!!!
SEKIAN



Cloud Hosting IndonesiaPHP Dev Cloud HostingAffiliate Banner Unlimited Hosting IndonesiaUnlimited Hosting WordPress Developer Persona

Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama