Peran Santri Membangun Negeri
Jakarta, LD-PBNU
Barangkali kata Istiqomah adalah sesuatu yang pantas disematkan kepada santri, sebab eksistensinya terhadap keikutsertaan membangun negeri. Sudah mafhum dalam cakrawala kita, bahwa santri ada dan turut andil dalam bagian-bagian sejarah penting negeri ini. Bisa dikatakan banyak sekali santri yang gugur dalam perjuangannya merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia. Santri turun gunung melepaskan pakaian keilmuannya sejak dulu untuk membela kepentingan tanah air merebut persamaan hak yakni kemerdekaan. Perjuangan itupun semakin meyeruak lewat aksi-aksi heroik para santri dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah direbut Bangsa Indonesia pada masanya dahulu. Resolusi jihad dan Pertempuran Surabaya adalah wujud nyata penerapan nilai-nilai cinta tanah air yang sudah tembus dalam aktualisasi dan cara pandang santri dalam statusnya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Sikap nasionalis ini yang harus terus dibangun dalam jiwa-jiwa santri sebagai salah satu prinsip hidup dan kesadaran moril sebagai anggota masyarakat dari Bangsa Indonesia. Dan atas Izin Allah Ta’ala wujud nyata perjuangan santri sudah diganjar salah satunya dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Di satu sisi sebagai kaum santri bersyukur atas hadiah tersebut. Namun pada sisi lain ini merupakan tantangan yang harus dijawab santri dengan prestasi dan aksi nyata.
Lepas dari sisi terminologis dan etimologis santri yang sudah banyak dibahas dalam berbagai macam tulisan. Pada eranya masing-masing pula santri menunjukkan Dharma Baktinya pada bangsa dan negara di berbagai aspek kehidupan. Kesan kumuh, tidak beralas kaki, sarungan dan sentimen lainnya tidak tepat begitu saja dihadiahkan kepada santri yang panjang catatan perjuangannya terhadap bangsa ini. Intelek, toleran, moderat, inovatif, spiritualis, dan agamis nampaknya jauh lebih pas dan pantas dialamatkan sebagai karakteristik santri yang memang sudah teruji dari masa ke masa.
Berbagai aspek kehidupan disentuh oleh kiprah santri yang bukan hanya sekedar bergelut dalam telaga keilmuan ala kepesantrenan saja. Banyak kita temui pada akhirnya santri yang eksis dalam mengembangkan bisnisnya. Memang pendidikan pesantren yang mengisyaratkan kepada santri dengan bekal agar nantinya tidak melulu soal keilmuan dan keagamaan betul-betul diserap secara mendalam dalam konsep kehidupan setelah keluar pesantren. Banyak sekali santri yang telah membuktikan hal demikian. Dalam Kabinet Kerja dibawah pimpinan Presiden Jokowi ternyata banyak para menteri yang diam-diam memiliki latar belakang santri. Begitupun dengan pejabat tinggi lainnya termasuk ketua-ketua partai yang banyak diisi oleh golongan santri. Bahkan titik klimaksnya sudah pernah terjadi bahwa negeri ini pernah dipimpin oleh seorang santri yakni Al-Maghfurllah Romo KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.
Terlalu banyak dan sangat multi-dimensional catatan-catatan emas para santri dalam kiprahnya terhadap Bangsa Indonesia. Sudah waktunya siapapun yang melabeli dirinya dengan gelar santri untuk bangun dan bangkit mempersiapkan diri secara total, turut serta dalam pembangunan negara lewat apapun kapasitasnya.
Dalam era new media dan milenial ini, kita butuh sekelompok masyarakat moderat untuk mendampingi keberpengaruhan para Kyai dan Guru-guru kita dalam memberikan kesejukan kiprah dan kelembutan gagasan dalam perannya terhadap masyarakat menghadapi berbagai macam tantangan yang semakin kompleks. Dan nampaknya posisi itu pantas diserahtugaskan kepada ‘kaum santri’ yang sudah jelas kapabilitas dan loyalitas kepada tanah air. Kita butuh sekelompok orang yang sanggup dan siap untuk memadamkan tiap api kegaduhan yang terjadi baik dalam dunia nyata lebih-lebih dalam dunia maya. Jika dilihat dari latar belakang keilmuan santri jugalah yang mumpuni dalam melakukan hal-hal demikian.
Modernisasi dan transformasi teknologi sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan. Menyebabkan sudah waktunya bagi para santri untuk membuka mata lebar-lebar dan mempertajam sensitifitasnya dalam menyikapi tiap perubahan dan kejadian yang ada. Zaman Milenial menuntut santri turun gunung untuk jihad media, jihad kemasyarakatan, jihad politik bahkan jihad ekonomi. Dalam rangka kembali meneguhkan eksistensi dirinya sebagai bagian nyata dari Bangsa Indonesia. Bukankah bekal-bekal tuk menghadapi itu semua jauh-jauh sudah diberikan para guru saat di pesantren. Santri dibekali intelektualitas yang tembus segala disiplin keilmuan. Sudah bukan saatnya melulu santri ‘Alim soal kitab kuning. Bukan sesuatu yang salah jika kealiman tentang kitab kuning ditambah dengan kompetensi yang matang soal teknologi. Toh, pesantren manapun sudah menyiapkan santri-santrinya untuk ke arah demikian lewat peningkatan fasilitas pesantren.
Santri juga sudah dibekali dengan sikap toleran tingkat atas. Sebab sejak mondok santri sudah terbiasa hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda asal-usul, karakter, etnis, suku, adat, ras dan budaya, namun tetap bersinergi dalam satu kesatuan. Bekal lain yang sudah dimiliki oleh santri adalah spiritualitas yang diasah secara tajam lewat ritual ibadah yang tiap hari dilaksanakan selama masih dalam pesantren bahkan hingga keluar dari pesantren. Ini merupakan sesuatu yang teramat penting menyiapkan diri dalam era Milenial harus dengan keterisian hati yang hanya bisa didapat dengan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kesederhanaan dan sikap karakter khas santri yang sederhana, wara’, Qona’ah dan tidak bertele-tele juga merupakan warna menarik bagi Santri untuk melengkapi intelektualitasnya. Pun, kreatifitas dan inovasi santri terus harus ditingkatkan dalam menyiapkan diri menyambut era serba singkat dan serba cepat ini.(Abd Faqih)
Penulis:
Kabir Al Fadly Habibullah
Pengurus Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 2 Tangerang.
aplikasi Android. 🙂
Premium app status: FREE
Dikutip dari laman : https://dakwahnu.id/peran-santri-membangun-negeri/
Jakarta, LD-PBNU
Barangkali kata Istiqomah adalah sesuatu yang pantas disematkan kepada santri, sebab eksistensinya terhadap keikutsertaan membangun negeri. Sudah mafhum dalam cakrawala kita, bahwa santri ada dan turut andil dalam bagian-bagian sejarah penting negeri ini. Bisa dikatakan banyak sekali santri yang gugur dalam perjuangannya merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia. Santri turun gunung melepaskan pakaian keilmuannya sejak dulu untuk membela kepentingan tanah air merebut persamaan hak yakni kemerdekaan. Perjuangan itupun semakin meyeruak lewat aksi-aksi heroik para santri dalam mempertahankan kemerdekaan yang sudah direbut Bangsa Indonesia pada masanya dahulu. Resolusi jihad dan Pertempuran Surabaya adalah wujud nyata penerapan nilai-nilai cinta tanah air yang sudah tembus dalam aktualisasi dan cara pandang santri dalam statusnya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Sikap nasionalis ini yang harus terus dibangun dalam jiwa-jiwa santri sebagai salah satu prinsip hidup dan kesadaran moril sebagai anggota masyarakat dari Bangsa Indonesia. Dan atas Izin Allah Ta’ala wujud nyata perjuangan santri sudah diganjar salah satunya dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Di satu sisi sebagai kaum santri bersyukur atas hadiah tersebut. Namun pada sisi lain ini merupakan tantangan yang harus dijawab santri dengan prestasi dan aksi nyata.
Lepas dari sisi terminologis dan etimologis santri yang sudah banyak dibahas dalam berbagai macam tulisan. Pada eranya masing-masing pula santri menunjukkan Dharma Baktinya pada bangsa dan negara di berbagai aspek kehidupan. Kesan kumuh, tidak beralas kaki, sarungan dan sentimen lainnya tidak tepat begitu saja dihadiahkan kepada santri yang panjang catatan perjuangannya terhadap bangsa ini. Intelek, toleran, moderat, inovatif, spiritualis, dan agamis nampaknya jauh lebih pas dan pantas dialamatkan sebagai karakteristik santri yang memang sudah teruji dari masa ke masa.
Berbagai aspek kehidupan disentuh oleh kiprah santri yang bukan hanya sekedar bergelut dalam telaga keilmuan ala kepesantrenan saja. Banyak kita temui pada akhirnya santri yang eksis dalam mengembangkan bisnisnya. Memang pendidikan pesantren yang mengisyaratkan kepada santri dengan bekal agar nantinya tidak melulu soal keilmuan dan keagamaan betul-betul diserap secara mendalam dalam konsep kehidupan setelah keluar pesantren. Banyak sekali santri yang telah membuktikan hal demikian. Dalam Kabinet Kerja dibawah pimpinan Presiden Jokowi ternyata banyak para menteri yang diam-diam memiliki latar belakang santri. Begitupun dengan pejabat tinggi lainnya termasuk ketua-ketua partai yang banyak diisi oleh golongan santri. Bahkan titik klimaksnya sudah pernah terjadi bahwa negeri ini pernah dipimpin oleh seorang santri yakni Al-Maghfurllah Romo KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.
Terlalu banyak dan sangat multi-dimensional catatan-catatan emas para santri dalam kiprahnya terhadap Bangsa Indonesia. Sudah waktunya siapapun yang melabeli dirinya dengan gelar santri untuk bangun dan bangkit mempersiapkan diri secara total, turut serta dalam pembangunan negara lewat apapun kapasitasnya.
Dalam era new media dan milenial ini, kita butuh sekelompok masyarakat moderat untuk mendampingi keberpengaruhan para Kyai dan Guru-guru kita dalam memberikan kesejukan kiprah dan kelembutan gagasan dalam perannya terhadap masyarakat menghadapi berbagai macam tantangan yang semakin kompleks. Dan nampaknya posisi itu pantas diserahtugaskan kepada ‘kaum santri’ yang sudah jelas kapabilitas dan loyalitas kepada tanah air. Kita butuh sekelompok orang yang sanggup dan siap untuk memadamkan tiap api kegaduhan yang terjadi baik dalam dunia nyata lebih-lebih dalam dunia maya. Jika dilihat dari latar belakang keilmuan santri jugalah yang mumpuni dalam melakukan hal-hal demikian.
Modernisasi dan transformasi teknologi sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan. Menyebabkan sudah waktunya bagi para santri untuk membuka mata lebar-lebar dan mempertajam sensitifitasnya dalam menyikapi tiap perubahan dan kejadian yang ada. Zaman Milenial menuntut santri turun gunung untuk jihad media, jihad kemasyarakatan, jihad politik bahkan jihad ekonomi. Dalam rangka kembali meneguhkan eksistensi dirinya sebagai bagian nyata dari Bangsa Indonesia. Bukankah bekal-bekal tuk menghadapi itu semua jauh-jauh sudah diberikan para guru saat di pesantren. Santri dibekali intelektualitas yang tembus segala disiplin keilmuan. Sudah bukan saatnya melulu santri ‘Alim soal kitab kuning. Bukan sesuatu yang salah jika kealiman tentang kitab kuning ditambah dengan kompetensi yang matang soal teknologi. Toh, pesantren manapun sudah menyiapkan santri-santrinya untuk ke arah demikian lewat peningkatan fasilitas pesantren.
Santri juga sudah dibekali dengan sikap toleran tingkat atas. Sebab sejak mondok santri sudah terbiasa hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda asal-usul, karakter, etnis, suku, adat, ras dan budaya, namun tetap bersinergi dalam satu kesatuan. Bekal lain yang sudah dimiliki oleh santri adalah spiritualitas yang diasah secara tajam lewat ritual ibadah yang tiap hari dilaksanakan selama masih dalam pesantren bahkan hingga keluar dari pesantren. Ini merupakan sesuatu yang teramat penting menyiapkan diri dalam era Milenial harus dengan keterisian hati yang hanya bisa didapat dengan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kesederhanaan dan sikap karakter khas santri yang sederhana, wara’, Qona’ah dan tidak bertele-tele juga merupakan warna menarik bagi Santri untuk melengkapi intelektualitasnya. Pun, kreatifitas dan inovasi santri terus harus ditingkatkan dalam menyiapkan diri menyambut era serba singkat dan serba cepat ini.(Abd Faqih)
Penulis:
Kabir Al Fadly Habibullah
Pengurus Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 2 Tangerang.
aplikasi Android. 🙂
Premium app status: FREE
Dikutip dari laman : https://dakwahnu.id/peran-santri-membangun-negeri/
Pendidikan pesantren makin hari makin diminati, karena semakin banyak orang yang sadar akan betapa pentingnya akhlak, etika, moral, budi pekerti, dan ilmu agama. Kehadiran teknologi sangat rawan menghancurkan karakter generasi penerus bangsa.
BalasHapusMantab, Kang.
Salam