Macam-macam Metode Penafsiran Alquran dan Penjelasannya
Bila metode[1] yang dimaksud adalah langkah-langkah (praktis) menjelaskan Alquran sampai pada pemaparan hasil sebuah penafsiran, maka secara umum, metode penafsiran[2]–meminjam kategorisasi al-Farmawi[3]—yang dipakai ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran dibagi menjadi empat[4]; (1) tahlili (analitis), (2) ijmali (global), (3) muqarin (komparasi), dan (4) maudhu’i.[5]
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Yang memiliki arti sebagai cara atau langkah-langkah yang ditempuh seorang mufassir untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran sesuai dengan urutan mushaf dengan penjelasan yang umum dan ringkas.
Lazimnya mufassir ketika menggunakan metode ini memulai dengan ulasan mufradat yang singkat. Dalam tafsir yang menggunakan metode ini, sangat sukar mencari penjelasan yang detail. Akibatnya, metode ini dianggap kurang dapat diandalkan untuk menjawab tantangan-tantangan zaman yang sudah sedemikian kompleksnya.[2]
Karena itu, muncul-lah metode tahlilî[3], yang menjelaskan kandungan isi Alquran dengan gaya yang lebih komprehensif karena disertai dengan analisis berbagai aspek sesuai dengan kecenderungan dan kapasitas mufasirnya. Cara kerja tafsir model ini sama dengan metode ijmâlî, namun bedanya terletak pada penyertaan analisis dari berbagai aspek.
Meskipun metode tahlîlî menyajikan isi yang cukup detail tentang penafsiran isi kandungan Alquran dan dengan ciri ruanglingkupnya luas sehingga mufassir bisa bebas menuangkan ide dan pengetahuannya dalam mengeksplorasi kandungan Alquran[4], namun bila tidak hati-hati, bisa mudah larut di dalam subjektivitas sang mufassir itu sendiri.
Sementara metode muqâran[5], tidak terpacu pada urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf Alquran, melainkan fokus pada ayat-ayat yang beredaksi mirip. Nashrudin Baidan memberikan penjelasan terkait metode ini, yaitu penafsiran sekelompok ayat Alquran yang berbicara dalam suatu masalah tertentu dengan cara membandingkan antara ayat satu dengan ayat yang lainnya atau antara ayat dengan hadis, baik dari segi isi maupun redaksi atau pendapat-pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan.[6]
Karya tafsir yang menggunakan metode perbandingan memungkinkan lahirnya produk penafsiran yang lebih kritis, analitis, berwawasan luas dan toleran. Meskipun demikian, metode ini tetap saja belum bisa menjawab tantangan-tantangan yang berkelindan di tengah-tengah masyarakat, karena jangkauannya terbatas sekitar kemiripan redaksi saja.
Realitas dan pengalaman dalam menapaki kehidupan sehari-hari menuntut untuk terus melahirkan metode yang benar-benar representatif dan komprehensif dalam menyikap persoalan yang ada dalam masyarakat. Semula metode-metode penafsiran Alquran dilakukan dengan cara berangkat dari ayat per ayat sesuai susunan mushaf dan kemiripan redaksi ayat. Kemudian muncul metode penafsiran yang berangkat dari ayat Alquran yang memiliki tujuan dan tema yang sama untuk dipahami secara utuh. Metode ini disebut dengan istilah tafsir tematik (maudlu’î).[7]
Langkah munasabah ayat dan berbagai pendekatan menjadikan metode penafsiran tematik mampu memotret satu tema dan menyajikan satu konsep secara utuh tentang suatu persoalan (tema tertentu).[8] Meskipun demikian, tak lantas metode ini bebas dari kemungkinan penyimpangan atau kelemahan.
Terkait hal itu, al-Daghamin dalam Manhajiyyah al-Bahth sebagaimana dikutip M. Wiyono, mengingatkan dua hal penting, yakni; pertama, mufassir seringkali mengabaikan bagian penting dari kesatuan surat, hal ini sangat mungkin karena sementara pengkaji terdapat anggapan ayat atau surat tersebut bukan bagian kerja tafsir tematik. Kedua, terkadang mufassir hanya terpacu pada pengumpulan ayat, padahal tidak semua pengumpulan ayat merupakan upaya kinerja tafsir tematik.[9]
Referensi
[1] Model tafsir yang menggunakan metode ijmâlî diantaranya ada Tafsir al-Jâlalain karya al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli.
[2] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers, 2019), Cet. III, hlm. 383.
[3] Contoh tafsir yang menggunakan metode tahlîlî, diantaranya adalah, Tasîr Alquran al-‘Adzîm karya Ibn Katsir (1343 M).
[4] Lihat: Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 53-54.
[5] Karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah, Durrat at-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi (w.240 H) dan Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Alquran karya Taj al-Qurra’ al-Karmani (w.505 H).
[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 65.
[7] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Maudhu’i dan Cara Penerapannya, terj. Rosihon Anwat (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), cet. I, hlm. 43-44. Bandingkan dengan: Ṣalāh ‘Abd al-Fatāh al-Kālidī, al-Tafsīr al-Maudhu’ī Baina al-Nadzariyyah wa al-Tatbiq (Dār al-Nafā’is, 2012), h. 34. Dan Abd al-Satār Fathullah Sa’īd, al-Madkhal Ila al-Tafsīr al-Maudhu’ī ( Maktabah al-Qāhirah), h. 20-22
[8] Pembahasan tentang Tafsir Tematik (maudhu’i) akan dikupas lebih dalam pada bab tiga, tepatnya pada sub bab “metode penafsiran”.
[9] M. Wiyono, Paradigma Penafsiran: Dari Realitas Menuju Teks (Sidoarjo: Genta Group Production, 2019), hlm. 9.
[1] Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), dan hados (jalan). Jadi, metode adalah ilmu tentang tatacara atau langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Lihat M. Myrda, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), hlm. 296. Bandingkan Van Hoeve dan Elsevier, Ensiklopedia Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1991), hlm. 2231.
[2] Dalam kajian metode penafsiran, setidaknya dikenal dua istilah; “metode” dan “metodologi”, yang keduanya tentunya memiliki pengertian berbeda. Metode tafsir merupakan teknik, langkah-langkah atau cara penafsiran. Sedangkan metodologi tafsir untuk filosofi atau penjelasan mendalam tentang berbagai aspek metode, tidak hanya terkait teknik, melainkan juga pendekatan, aliran, sumber, mazhab dan sebagainya. Lihat Fahd bin ‘Abd al-Rahmân, Buhûts fî Ushûl al-Tafsîr wa Manâhijih (Riyadh: Maktabat al-Malik, 2009), hlm. 12.
[3] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’î: Dirâsah Manhajiyyah Maudhî’iyyah (Kairo, Al-Hadh^arah al-‘Arabiyyah, 1977), hlm. 23.
[4] Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 380-381.
[5] Di era kontemporer, metode penafsiran sudah berkembang sedemikian rupa, menyesuaiakan kebutuhan dan kondisi kedisinian. Andi Rosadisastra misalnya, telah meneliti Alquran dengan metode atau pendekatan saintific dan social. Bahkan ia, berdasarkan uraian Syaikh Khalid Abdurrahman Al-Ak dalam bukunya Ushûl at-Tafsîr wa Qawâiduh menyebutkan beberapa metode menafsirkan dan menganalisis teks Alquran, yaitu metode sintaksis, semiologi, semantik, hermeneutik, dan tematik. Selengkapnya Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2016), cet. Iv, hlm. 9-10.
Tags
PENDIDIKAN