KATA KATA HIKMAH ⚜ ~Fatayat Nahdlatul Ulama' adalah sebuah organisasi pemudi (wanita muda) Islam, merupakan salah satu lembaga otonom dilingkungan Nahdlatul Ulama'. Didirikan di Surabaya 24 April 1950 M, bertepatan dengan 7 Rajab 1369 H.
ARTI LAMBANG Fatayat NU
(1) Setangkai bunga melati melambangkan niat yang suci
(2) Tegaknya bunga melati di atas dua helai daun berarti dalam setiap gerak langkahnya, Fatayat NU tidak lepas dari bimbingan NU dan Muslimat NU
(3) Di dalam sebuah bintang berarti gerak langkah, Fatayat NU selalu berlandaskan Perintah Allah SWT dan Sunnah Rasul.
(4) Delapan bintang berarti empat khalifah dan empat mazhab.
(5) Dilingkari oleh tali persatuan berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah.
(6) FATAYAT NU adalah organisasi pemudi atau perempuan muda Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah
(7) Dilukis dengan warna putih di atas warna dasar hijau berarti kesucian dan kebenaran.
PERATURAN RUMAH TANGGA (PRT) FATAYAT NU
BAB I
Pasal 1
ARTI LAMBANG
(1) Setangkai bunga melati melambangkan niat yang suci
(2) Tegaknya bunga melati di atas dua helai daun berarti dalam setiap gerak langkahnya, Fatayat NU tidak lepas dari bimbingan NU dan Muslimat NU
(3) Di dalam sebuah bintang berarti gerak langkah, Fatayat NU selalu berlandaskan Perintah Allah SWT dan Sunnah Rasul.
(4) Delapan bintang berarti empat khalifah dan empat mazhab.
(5) Dilingkari oleh tali persatuan berarti Fatayat NU tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah.
(6) FATAYAT NU adalah organisasi pemudi atau perempuan muda Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah
(7) Dilukis dengan warna putih di atas warna dasar hijau berarti kesucian dan kebenaran.
BAB II
Pasal 2
KEANGGOTAAN
(1) Anggota biasa adalah setiap pemudi atau perempuan muda Islam yang berumur minimal 20 tahun dan maksimal berusia 40 tahun.
(2) Anggota kehormatan adalah pemudi dan atau perempuan muda Islam yang pernah menjadi pengurus Fatayat NU atau orang yang memiliki keahlian khusus yang berkomitmen terhadap Fatayat NU sesuai dengan kemampuannya.
Pasal 3
PENERIMAAN DAN PENETAPAN ANGGOTA
(1) Anggota Biasa:
a. Pemudi atau perempuan Islam yang lahir dari keluarga NU yang masih memiliki komitmen kepada Fatayat NU dan tidak berafiliasi dengan organisasi lain yang tidak satu visi dengan NU
b. Melalui rekrutmen:
1) Permintaan menjadi anggota diajukan secara tertulis kepada Pimpinan Ranting Fatayat NU setempat dengan mengisi formulir anggota baru dan membayar uang pendaftaran sesuai dengan ketentuan Cabang masing-masing.
2) Permintaan dapat diajukan oleh Pimpinan Ranting atau Pimpinan Anak Cabang sebagai koordinator anggota di daerahnya untuk diteruskan kepada Pimpinan Cabang Fatayat NU dengan tembusan kepada Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Pusat
(2) Anggota Kehormatan
a. Anggota kehormatan dapat diajukan dan atau diminta oleh pengurus Fatayat NU di tingkatan masing-masing
b. Anggota Kehormatan yang memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) diajukan secara tertulis kepada pengurus Fatayat NU di tingkatannya dengan tembusan pimpinan Fatayat NU setingkat di atasnya.
c. Anggota Kehormatan ditetapkan oleh Pimpinan Fatayat NU di tingkatan masing-masing
Pasal 4
KEWAJIBAN ANGGOTA
(1) Anggota Biasa :
Mentaati PD/PRT dan ketentuan- ketentuan organisasi.
Menjunjung tinggi nama dan kehormatan organisasi.
Aktif dalam pelaksanaan program organisasi.
Membayar uang iuran sesuai kemampuan di tingkatan masing-masing.
(2) Anggota Kehormatan :
Mentaati PD/PRT dan ketentuan-ketentuan organisasi.
Menjunjung tinggi nama dan kehormatan organisasi.
Aktif melaksanakan komitmennya guna pembinaan organisasi
Pasal 5
HAK ANGGOTA
(1) Hak Anggota Biasa :
Menghadiri kegiatan yang diadakan oleh organisasi.
Mengeluarkan pendapat, saran dan kritik baik lisan maupun tertulis dalam rapat-rapat organisasi.
Memilih dan dipilih menjadi pengurus.
Mendapatkan informasi tentang perkemangan organisasi
(2) Hak Anggota Kehormatan :
Menghadiri kegiatan yang diadakan oleh organisasi
Dapat mengeluarkan pendapat, mengajukan usul dan pertanyaan secara lisan maupun tulisan dalam rapat pleno atau rapat khusus yang dianggap penting.
Mendapatkan informasi tentang perkembangan organisasi.
Pasal 6
KETENTUAN ANGGOTA
(1)Anggota tidak diperkenankan merangkap menjadi anggota organisasi lain yang bertentangan dengan tujuan NU
(2)Anggota tidak diperkenankan mendukng atau membantu organisasi lain yang merugikan organisasi Fatayat NU.
(3)Anggota tidak diperkenankan mempergunakan nama atau atribut organisasi untuk kepentingan pribadi.
Pasal 7
SYARAT MENJADI PENGURUS
(1) Seorang dapat menjadi Ketua Umum:
Pernah menjadi pengurus Fatayat NU minimal satu periode secara aktif di tingkatannya masing-masing.
Berusia maksimal 40 tahun
Tidak merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Badan Otonom, Organisasi Sosial Politik dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya.
Pernah mengikuti pengkaderan formal yang ada di Fatayat NU.
Berdomisili di wilayahnya masing-masing dan sekitarnya
(2)Seorang yang dipilih menjadi Pengurus Fatayat NU :
Sudah menjadi anggota Fatayat NU
Pernah menjadi pengurus Organisasi Badan Otonom NU atau organisasi lain yang menyetujui dan mentaati PD/PRT Organisasi Fatayat NU
Pasal 8
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DAN PENGURUS
(1) Atas permintaan sendiri dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
(2) Diberhentikan oleh Pimpinan Organisasi apabila :
Terbukti tidak mentaati PD/PRT dan peraturan organisasi.
Terbukti mencemarkan nama baik organisasi.
Terbukti menyalahgunakan wewenang yang dapat merugikan organisasi baik materiil dan atau immaterial.
Tidak aktif dalam kepengurusan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan lamanya.
Pasal 9
CARA PEMBERHENTIAN ANGGOTA DAN PENGURUS
(1) Sebelum dilaksanakan pemberhentian terlebih dahulu diberi peringatan secara tertulis sebanyak 2 kali .
(2) Batas waktu surat peringatan kesatu dan kedua adalah satu bulan.
(3) Anggota yang telah diberhentikan dapat naik banding dan keputusan terahir berada di Pimpinan Pusat
(4) Jika berkeberatan, Anggota dan pengurus yang telah diberhentikan dapat naik banding dan keputusan terakhir berada di Majelis Arbitrase di tingkatan masing-masing
Pasal 10
MAJELIS ARBITRASE,
(1) Majelis Arbitrase adalah majelis yang berfungsi untuk membantu menyelesaikan persoalan organisasi yang tidak dapat diselesaikan oleh pengurus
(2) Majelis Arbitrase terdiri dari Ketua Syuriyah NU, Penasehat , Pembina dan Pimpinan Fatayat NU setingkat di atasnya
Pasal 11
PENYELESAIAN MASALAH DAN SANKSI
(1)Pengurus yang tidak aktif / tidak melaksanakan tugas kepengurusan selama 6 (enam) bulan berturut-turut dapat dikenakan sanksi organisasi sesuai ketentuan pasal 8;
(2)Pengurus yang melanggar aturan organisasi dengan indikasi melakukan pelanggaran terhadap PD/PRT dapat dilaporkan/dipanggil oleh Forum Pleno dan atau tim yang dibentuk untuk melakukan klarifikasi /tabayyun.
(3)Bila dalam proses klarifikasi ternyata terbukti melakukan pelanggaran maka yang bersangkutan dapat diberikan sanksi.
(4)Jenis sanksi diberikan mulai dari teguran, pernyataan maaf, mengembalian aset yang dikuasai secara tidak sah sampai dengan Pemberhentian / pemecatan sesuai dengan jenis pelanggaran.
(5)Apabila Majelis Arbitrase tidak dapat menyelesaikan maka dapat menempuh jalur hukum
PASAL 12
PERGANTIAN ANTAR WAKTU
Setelah pemberhentian pengurus, maka diadakan pergantian antar waktu yang diatur dan ditetapkan dalam rapat pleno dan disahkan sesuai dengan peraturan yang berlaku
BAB III
TINGKAT PIMPINAN
Pasal 13.
(1) Pimpinan Pusat disingkat PP di tingkat Nasional
(2) Pimpinan Wilayah disingkat PW di tingkat Propinsi / Daerah Istimewa (DI).
(3) Pimpinan Cabang disingkat PC di tingkat Kabupaten/Kota/ Daerah Khusus yang terdapat PC NU.
(4) Pimpinan Cabang Istimewa disingkat PCI di Luar Negeri.
(5) Pimpinan Anak Cabang disingkat PAC di tingkat Kecamatan
(6) Pimpinan Ranting disingkat PR di tingkat Kelurahan/Desa /Dusun.
(7) Pimpinan Anak Ranting disingkat PAR berbasis masjid atau mushalla
BAB IV
SUSUNAN PENGURUS
Pasal 14
PIMPINAN PUSAT
(1) Pimpinan Pusat berkedudukan di Ibu Kota negara dan merupakan pimpinan tertinggi di tingkat Nasional
(2) Kepengurusan Pimpinan Pusat Fatayat NU terdiri dari:
Penasehat (Ketua PBNU dan Ketua Umum PP Muslimat NU)
Pembina adalah tim yang terdiri dari Mantan Ketua Umum dan Mantan pengurus yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi.
Dewan kehormatan adalah individu yang mampu memberikan kontribusi kepada Fatayat NU
Pengurus Harian:
Ketua Umum
Ketua I
Ketua II
Ketua III
Ketua IV
Ketua V
Ketua VI
Ketua VII
Sekretaris Umum
Sekretaris I
Sekretaris II
Sekretaris III
Bendahara Umum
Bendahara I
Bendahara II
Bidang-bidang terdiri dari:
Bidang Pengembangan Organisasi (Organisasi, Pendidikan dan Pengkaderan)
Bidang Hukum, Politik dan Advokasi
Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Bidang Sosial, Seni dan Budaya
Bidang Ekonomi
Bidang Dakwah
Bidang Penelitihan dan Pengembangan
Lembaga/Yayasan dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 15
PIMPINAN WILAYAH
(1)Pimpinan Wilayah berkedudukan di ibu kota propinsi dan merupakan pimpinan tertinggi di tingkat wilayah
(2)Kepengurusan Pimpinan Wilayah Fatayat NU terdiri dari:
a. Penasehat (Ketua Umum PW NU)
b. Pembina adalah tim yang terdiri dari Mantan Ketua Umum dan Mantan pengurus yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi.
c. Dewan kehormatan adalah individu yang mampu memberikan kontribusi kepada Fatayat NU
d. Pengurus Harian: (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua Umum
Ketua I
Ketua II
Ketua III
Ketua IV
Sekretaris Umum
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara Umum
Bendahara I
Bendahara II
e. Bidang-bidang (dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Wilayah, Jenis bidang mengacu pada PP):
Bidang Pengembangan Organisasi (Organisasi, Pendidikan dan Pengkaderan)
Bidang Hukum, Politik dan Advokasi
Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Bidang Sosial, Seni dan Budaya
Bidang Ekonomi
Bidang Dakwah
Bidang Penelitihan dan Pengembangan
f. Lembaga/Yayasan dibentuk sesuai dengan kebutuhan
Pasal 16
PIMPINAN CABANG
(1) Pimpinan Cabang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota/Kotip dan merupakan pimpinan ter-tinggi di tingkat Cabang
(2) Kepengurusan Pimpinan Cabang Fatayat NU terdiri dari:
Penasehat (Ketua Umum PC NU)
Pembina adalah tim yang terdiri dari Mantan Ketua Umum dan Mantan pengurus yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi.
Dewan kehormatan adalah individu yang mampu memberikan kontribusi kepada Fatayat NU
Pengurus Harian (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Bidang-bidang (dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Cabang, Jenis bidang sesuai dg PW):
Bidang Pengembangan Organisasi (Organisasi, Pendidikan dan Pengkaderan)
Bidang Hukum, Politik dan Advokasi
Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Bidang Sosial dan Ekonomi
Bidang Dakwah dan Pembinaan Anggota
Bidang Litbang
Lembaga/Yayasan dibentuk sesuai dengan kebutuhan
Pasal 17
PIMPINAN CABANG ISTIMEWA
(1)Pimpinan Cabang Istimewa berkedudukan di luar negeri dan merupakan pimpinan ter-tinggi tingkat Cabang Istimewa
(2)Kepengurusan Pimpinan Cabang Istimewa Fatayat NU terdiri dari:
a. Penasehat (Ketua Umum PCI NU)
b. Pembina adalah tim yang terdiri dari Mantan Ketua Umum dan Mantan pengurus yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi.
c. Dewan kehormatan adalah individu yang mampu memberikan kontribusi kepada Fatayat NU
d. Pengurus Harian (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Bidang-bidang (dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Cabang Istimewa, Jenis bidang sesuai dg PP):
Bidang Pengembangan Organisasi (Organisasi, Pendidikan dan Pengkaderan)
Bidang Hukum, Politik dan Advokasi
Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Bidang Sosial dan Ekonomi
Bidang Dakwah dan Pembinaan Anggota
Bidang Litbang
Lembaga/Yayasan dibentuk sesuai dengan kebutuhan
Pasal 18
PIMPINAN ANAK CABANG
(1)Pimpinan Anak Cabang berkedudukan di Ibu Kota Kecamatan dan merupakan pimpinan tertinggi di tingkat Anak Cabang
(2)Kepengurusan Pimpinan Anak Cabang Fatayat NU terdiri dari :
Penasehat (Ketua MWC NU)
Pembina
Pengurus Harian (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua
Wakil Ketua I
Wakil Ketua II
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
Bidang-bidang
Bidang-bidang dibentuk sesuai kebutuhan dan kondisi Anak Cabang, jenis bidang disesuaikan dengan PC )
Pasal 19
PIMPINAN RANTING
(1)Pimpinan Ranting berkedudukan di Desa /Kelurahan dan merupakan pimpinan tertinggi di tingkat Ranting
(2)Kepengurusan Pimpinan Ranting Fatayat NU terdiri dari:
Penasehat (Ketua PR NU dan Ketua PR Muslimat NU)
Pembina
Pengurus Harian : (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Bidang-bidang , dibentuk sesuai kebutuhan dan kondisi Pimpinan Ranting, jenis bidang disesuaikan dengan PAC )
Pasal 20
PIMPINAN ANAK RANTING
(1) Pimpinan Anak Ranting berkedudukan di Pesantren, Masjid atau Mushalla dan merupakan pimpinan tertinggi di tingkat Anak Ranting
(2) Kepengurusan Pimpinan Anak Ranting Fatayat NU terdiri dari:
Penasehat (Ketua PAR/PR NU)
Pembina
Pengurus Harian : (jumlah disesuaikan dengan kebutuhan, maksimal sesuai dengan jumlah bidang) :
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Bidang-bidang, dibentuk sesuai kebutuhan dan kondisi Pimpinan Ranting, jenis bidang disesuaikan dengan PAC )
BAB V
Lembaga, Yayasan dan Ikatan Alumni
Pasal 21
Lembaga
Lembaga adalah perangkat organisasi yang dibentuk untuk mengefektifkan kinerja organisasi, antara lain:
LKP2A adalah Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Anak dibentuk di tingkat Cabang dengan tugas memberikan konseling dan pendampingan kepada Perempuan dan Anak korban kekerasan.
Bina Balita adalah lembaga yang memfasilitasi perkembangan dan kelangsungan hidup anak. Dibentuk di tingkat Pimpinan Cabang Fatayat NU.
PIKER adalah Pusat Layanan Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi. Dibentuk di tingkat Pimpinan Anak Cabang Fatayat NU.
Fordaf, adalah Forum Da’iyah Fatayat NU yang dibentuk di tingkat Pimpinan Cabang Fatayat NU.
Pasal 22
YAYASAN
(1) Yayasan adalah perangkat yang dapat dibentuk dan bertanggungjawab oleh dan kepada Pimpinan Fatayat NU sesuai tingkatannya.
(2) Yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Fatayat NU dapat berkoordinasi dan bekerjasama antar lembaga, baik vertikal maupun horizontal
(3) Pendiri Yayasan Fatayat NU adalah ex officio kepengurusan di Fatayat NU
Pasal 23
IKATAN ALUMNI FATAYAT
Ikatan Alumni Fatayat NU (IAF-NU) adalah forum ikatan silaturahmi alumni pengurus Fatayat NU, yang berfungsi memberikan kontribusi baik moril maupun materil kepada Pimpinan Fatayat NU di tingkatannya masing-masing.
BAB VI
PIMPINAN DAN DAERAH TERITORIAL
Pasal 24
A. PIMPINAN PUSAT
(1) Pimpinan Pusat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Kongres untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Daerah teritorialnya meliputi seluruh wilayah RI.
(3) Dalam melaksana-kan tugas desen-tralisasinya, Pimpinan Pusat dapat membentuk Koordinator Wilayah atas persetujuan Wilayah-wilayah terdiri dari seorang Ketua, Sekretaris dan Bendahara untuk masing-masing zona.
B. PIMPINAN WILAYAH
(1) Pimpinan Wilayah adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari konferensi Wilayah untuk me-laksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Dalam setiap Propinsi/Daerah Istimewa hanya dapat didirikan satu Pimpinan Wilayah.
(3) Apabila dibutuhkan, dalam melaksanakan tugas desentralisasi Pimpinan Wilayah dapat membentuk Koordinator Daerah dengan persetujuan cabang. yang terdiri dari seorang Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
C. PIMPINAN CABANG
(1) Pimpinan cabang adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Konferensi Cabang untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Dalam setiap Kabupaten/Kota dapat didirikan satu Cabang dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) PAC, kecuali dalam kondisi khusus.
(3) Apabila dibutuhkan, dalam melaksanakan tugas desentralisasi Pimpinan Cabang dapat membentuk Koordinator Anak Cabang dengan persetujuan Anak Cabang yang terdiri dari seorang Ketua, Sekretaris dan Bendahara.
D. PIMPINAN CABANG ISTIMEWA
(1) Pimpinan cabang Istimewa adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Konferensi Cabang Istimewa untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Pimpinan Cabang Istimewa berkedudukan di Negara lain yang terdapat Kedutaan Besar Republik Indonesia
(3) Pimpinan Cabang Istimewa dapat didirikan apabila sekurang-kurangnya terdapat minimal 10 anggota
(4) Bila memungkinkan PCI dapat membentuk PAC dan PR yang pengaturannya disamakan dengan PAC dan PR.
E. PIMPINAN ANAK CABANG
(1) Pimpinan Anak Cabang adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Konferensi Anak Cabang untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Anak Cabang dapat dibentuk dalam satu kecamatan atau yang disamakan dengan itu,
(3) Pimpinan Anak Cabang dapat didirikan apabila terdapat minimal 3 (tiga) ranting.
F. PIMPINAN RANTING
(1) Pimpinan Ranting adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Rapat Anggota Ranting untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Pimpinan Ranting dapat didirikan dalam satu Kelurahan/ Desa/Dusun atau yang disamakan, apabila terdapat paling sedikit 10 anggota.
(4) Apabila dalam satu desa dipandang perlu didirikan lebih dari satu ranting yang pengaturannya diserahkan kepada Pimpinan Cabang atas usulan Pimpinan Anak Cabang masing-masing.
G. PIMPINAN ANAK RANTING
(1) Pimpinan Anak Ranting adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi yang menerima amanat dari Rapat Anggota untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi.
(2) Pimpinan Anak Ranting dapat didirikan dalam satu Masjid atau Mushalla, apabila terdapat paling sedikit 10 anggota.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN HAK PIMPINAN
Pasal 25
PIMPINAN PUSAT
(1) Pimpinan Pusat berkewajiban:
Melaksanakan keputusan kongres;
Mengesahkan Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang;
Membina dan mengkoordinasikan wilayah dan cabang;
Mengusahakan tercapainya program organisasi;
Bertanggung Jawab terhadap organisasi baik kedalam maupun keluar;
Membuat laporan pertanggung jawaban diakhir masa jabatan kepada kongres.
(2) Pimpinan Pusat berhak:
Mengambil keputusan,kebijaksanaan, dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu, selama tidak bertentangn dengan asas dan tujuan organisasi;
Memberi saran, teguran, peringatan maupun peng-hargaan terhadap kinerja Pimpinan Wilayah dan Cabang; dan
Meminta laporan kegiatan PW dan PC.
Pasal 26
PIMPINAN WILAYAH
(1) Pimpinan Wilayah berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Konferensi Wilayah dan memberikan laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatan
Setia dan taat menjalankan kebijaksanaan Pimpinan Pusat
Membina dan mengkoordinasi kan cabang-cabang di wilayah nya.
Mengusahakan tercapainya program dan tujuan organisasi
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam maupun keluar.
(2) Pimpinan Wilayah berhak:
Mengambil keputusan, kebijaksanaan, dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu, selama tidak bertentangan dengan asas dan tujuan peraturan organisasi.
Memberi saran, peringatan dan meminta pertanggung jawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pucuk Pimpinan.
Mengesahkan Pimpinan Anak Cabang
Melaksanakan peratu-ran dan program organisasi
Memberikan teguran kepada Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Cabang yang melanggar AD-ART
Pasal 27
PIMPINAN CABANG
(1) Pimpinan Cabang berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Konferensi Cabang dan memberikan laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatan.
Setia dan taat menjalankan kebijaksanaan Pimpinan Pusat
Mengesahkan Pimpinan Anak Cabang
Membina dan mengkoordinasi kan Anak Cabang dan Ranting di wilayahnya.
Melaksanakan peraturan dan program organisasi
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam mau pun keluar.
Memberikan laporan kegiatan secara berkala setiap 6 bulan kepada Pimpinan Pusat Fatayat NU dengan tembusan ke PW Fatayat NU.
Melaporkan kejadian yang luar biasa yang terjadi di wilayah kerja masing-masing secara tertulis kepada Pimpinan Pusat dengan tembusan Pimpinan Wilayah
(2) Pimpinan Cabang Berhak:
Mengambil keputusan, kebijakan dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan asas, peraturan dan tujuan organisasi
Memberi saran, peringatan dan meminta pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pimpinan Wilayah dan Pucuk pimpinan.
Memberi saran, teguran, peringatan maupun penghargaan terhadap kinerja Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Ranting.
Pasal 28
PIMPINAN CABANG ISTIMEWA
(1) Pimpinan Cabang Istimewa berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Konferensi Cabang Istimewa dan memberikan laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatan
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam mau pun keluar.
Memberikan laporan kegiatan secara berkala setiap 6 bulan kepada Pimpinan Pusat Fatayat NU.
Melaporkan kejadian yang luar biasa yang terjadi di wilayah kerja masing-masing secara tertulis kepada Pimpinan Pusat
Setia dan taat menjalankan kebijaksanaan Pucuk impinan
Mengangkat dan mengesahkan Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Ranting.
Membina dan mengkoordinasikan Anak Cabang dan Ranting di luar negeri yang menjadi tanggungjawabnya
Mengusahakan tercapainya program dan tujuan organisasi
(2) Pimpinan Cabang Istimewa Berhak:
Mengambil keputusan, kebijak sanaan dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan peraturan organisasi.
Memberi saran, peringatan dan meminta pertanggung jawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pucuk Pimpinan.
Memberi saran, teguran, peringtan maupun penghargaan terhadap kinerja Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Ranting yang ada.
Pasal 29
PIMPINAN ANAK CABANG
(1) Pimpinan Anak Cabang berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Konferensi Anak Cabang dan memberikan laporan pertanggungjawaban di akhir masa jabatan
Setia dan taat menjalankan kebijaksanaan Pimpinan Cabang
Membina dan mengkoordinasi kan Ranting-ranting diwilayah nya.
Mengusahakan tercapainya program dan tujuan organisasi
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam maupun keluar.
Memberikan laporan kegiatan secara berkala setiap 6 bulan kepada PW Fatayat NU dengan tembusan ke PC Fatayat NU
Melaporkan kejadian yang luar biasa yang terjadi di wilayah kerja masing-masing secara tertulis kepada PW Fatayat NU dengan tembusan ke PC Fatayat NU
(2) Pimpinan Anak Cabang Berhak:
Mengambil keputusan, kebijaksanaan dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan organisasi.
Meminta pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pimpinan Cabang
Memberi saran, teguran, peringatan maupun penghargaan terhadap kinerja Pimpinan Ranting.
Pasal 30
PIMPINAN RANTING
(1) Pimpinan Ranting berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Rapat Anggota dan memberi kan laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatan.
Setia dan taat menja-lankan kebijakan Pimpinan Anak Cabang
Membina dan mengkoordinasikan anggota Fatayat NU di wilayahnya.
Mengusahakan tercapainya program dan tujuan organisasi
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam maupun keluar.
Memberikan laporan kegiatan secara berkala setiap 6 bulan kepada PC Fatayat NU dengan tembusan ke PAC Fatayat NU
Melaporkan kejadian yang luar biasa yang terjadi di wilayah kerja masing-masing secara tertulis kepada PC Fatayat NU dengan tembusan ke PAC Fatayat NU.
(2) Pimpinan Ranting Berhak:
Mengambil keputusan, kebijak sanaan dan mengeluarkan per nyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan organisasi.
Meminta pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Cabang
Memberi saran, teguran, peringatan maupun penghargaan terhadap kinerja Anggota
Pasal 31
PIMPINAN ANAK RANTING
(1) Pimpinan Anak Ranting berkewajiban:
Melaksanakan keputusan Rapat Anggota dan memberi kan laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatan.
Setia dan taat menjalankan kebijakan Pimpinan Ranting
Membina dan mengkoordinasikan anggota Fatayat NU di wilayahnya.
Mengusahakan tercapainya program dan tujuan organisasi
Bertanggung jawab terhadap organisasi baik kedalam maupun keluar.
Memberikan laporan kegiatan secara berkala setiap 6 bulan kepada PAC Fatayat NU dengan tembusan ke PR Fatayat NU
Melaporkan kejadian yang luar biasa yang terjadi di wilayah kerja masing-masing secara tertulis kepada PAC Fatayat NU dengan tembusan ke PR Fatayat NU
(2) Pimpinan Anak Ranting Berhak:
Mengambil keputusan, kebijakan dan mengeluarkan pernyataan terutama tentang hal-hal yang dianggap perlu dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan organisasi.
Meminta pertanggung-jawaban atas kebijakan yang diambil oleh Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Cabang
Memberi saran, teguran, peringatan maupun penghargaan terhadap kinerja Anggota.
Pasal 32
PENGHARGAAN
(1) Pimpinan Fatayat NU dapat memberikan penghargaan kepada anggota dan atau orang yang berjasa terhadap organisasi.
(2) Jenis dan mekanisme penyampaian penghargaan ditentukan oleh pimpinan organisasi.
BAB VIII
PERMUSYAWARATAN
Pasal 33
KONGRES
(1) Ketentuan Umum:
Kongres diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali oleh Pimpinan Pusat Fatayat NU.
Kongres mempunyai kekuasaan tertinggi.
Kongres dihadiri oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang dan undangan Pimpinan Pusat
Yang mempunyai hak suara adalah Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang.
Kongres dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu dari jumlah Wilayah dan Cabang yang sah.
Apabila Kongres tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksa- naannya diserahkan kepada peserta yang hadir
Bagi PW dan atau PC yang tidak menghadiri konggres dianggap menyetujui hasil dan atau keputusan konggres.
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting.
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PP Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban Pimpinan Pusat Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan -kebijakan organisasi,
Merubah dan menetapkan PD/PRT.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Memilih dan menetapkan tim Formatur
Pasal 34
KONFERENSI BESAR
(1) Konferensi Basar (KONBES) dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat Fatayat NU.
(2) Konferensi Besar dihadiri oleh Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah.
(3) Konferensi Besar mengevaluasi program dan membicarakan hal-hal yang dipandang perlu.
(4) Keputusan Konferensi Besar tidak dapat mengubah PD/PRT dan Mandataris Kongres.
(5) Konferensi Besar diselenggarakan minimal 1 (satu) kali dalam satu periode.
(6) Konperensi Besar mengevaluasi program, memberikan usulan materi kongres dan membicarakan hal-hal yang dipandang perlu.
Pasal 35
KONFERENSI WILAYAH
(1) Ketentuan Umum:
Konferensi Wilayah (Konferwil) diadakan 5 tahun sekali, dilaksanakan oleh pimpinan wilayah
Konferensi dihadiri oleh PP Fatayat NU, PW Fatayat NU, Korda, PC Fatayat NU yang sah dan undangan.
Konferensi dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu cabang yang sah.
Yang mempunyai hak suara adalah Pimpinan cabang.
Apabila Konferensi Wilayah tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaannya diserahkan kepada peserta yang hadir
Bagi PC yang tidak menghadiri Konferensi Wilayah dianggap menyetujui hasil keputusan Konferensi Wilayah.
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PW Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PW Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan tim Formatur
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PW Fatayat NU.
Pasal 36
KONFERENSI CABANG
(1) Ketentuan Umum:
Konferensi Cabang (Konfercab) diadakan 5 tahun sekali, dilaksanakan oleh pimpinan cabang.
Konferensi Cabang dihadiri oleh PW, PC, dan PAC Fatayat NU yang sah dan undangan.
Konperensi dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu PAC dan PR yang sah.
Yang mempunyai hak suara adalah Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting
Apabila Konperensi Cabang tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaannya diserahkan kepada peserta yang hadir
Bagi PAC dan PR yang tidak menghadiri Konperensi Cabang dianggap menyetujui hasil dan atau keputusan Konperensi Cabang.
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PC Fatayat NU selama satu periode.
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PC Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PC Fatayat NU.
Memilih dan menetapkan tim Formatur
Pasal 37
KONFERENSI CABANG ISTIMEWA
(1) Ketentuan Umum:
Konferensi Cabang Istimewa diadakan 4 tahun sekali, dan dilaksanakan oleh pimpinan Cabang Istimewa.
Konferensi dihadiri oleh PP, PCI dan anggota atau PAC dan PR Fatayat NU yang sah serta undangan.
Konferensi dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu Pemilik suara yang sah.
Yang mempunyai hak suara adalah anggota, apabila tela memenuhi ketentuan pasal 19.D.(4), maka yang mempunyai hak suara adalah PAC dan Ranting.
Apabila Konferensi Cabang Istimewa tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaannya diserahkan kepada peserta yang hadir
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PCI Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PCI Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PCI Fatayat NU.
Memilih dan menetapkan tim Formatur
Pasal 38
KONFERENSI ANAK CABANG
(1) Ketentuan Umum:
Konferensi Anak Cabang (Konferancab) diadakan 4 tahun sekali, dan dilaksanakan oleh Pimpinan Anak Cabang.
Konferensi Anak Cabang dihadiri oleh PC,PAC, PR dan PAR Fatayat NU yang sah dan undangan.
Konferensi dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu dan PR yang sah.
Yang mempunyai hak suara adalah Pimpinan Ranting dan Anak Ranting
Apabila Konferensi Anak Cabang tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaannya diserahkan kepada peserta yang hadir
Bagi PR yang tidak menghadiri Konperensi Anak Cabang dianggap menyetujui hasil dan atau keputusan Konperensi Anak Cabang.
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PAC Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PAC Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PAC Fatayat NU.
Memilih dan menetapkan tim Formatur
Pasal 39
RAPAT ANGGOTA RANTING
(1) Ketentuan Umum:
Rapat Anggota diadakan 4 tahun sekali, dan dilaksanakan oleh pimpinan ranting.
Rapat Anggota dihadiri oleh PAC dan anggota PR Fatayat NU yang sah dan undangan.
Rapat Anggota dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu dan anggota.
Yang mempunyai hak suara adalah masing-masing anggota
Apabila Rapat Anggota tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaan nya diserahkan kepada anggota yang hadir
Bagi anggota yang tidak menghadiri Rapat Anggota dianggap menyetujui hasil dan atau keputusan Rapat Anggota
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PR Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PR Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PR Fatayat NU. Dan pengurus lengkap.
Pasal 40
RAPAT ANGGOTA ANAK RANTING
(1) Ketentuan Umum:
Rapat Anggota diadakan 4 tahun sekali, dan dilaksanakan oleh Pimpinan Anak Ranting.
Rapat Anggota dihadiri oleh PAR Fatayat NU yang sah dan undangan.
Rapat Anggota dianggap sah jika dihadiri oleh separuh lebih satu dan anggota.
Yang mempunyai hak suara adalah masing-masing anggota
Apabila Rapat Anggota tidak memenuhi quorum, maka keputusan pelaksanaan nya diserahkan kepada anggota yang hadir
Bagi anggota yang tidak menghadiri Rapat Anggota dianggap menyetujui hasil dan atau keputusan Rapat Anggota
Keputusan dianggap sah apabila diputuskan secara musyawarah mufakat, apabila tidak tercapai maka diputuskan secara voting
(2) Tugas dan wewenang :
Mengevaluasi pelaksanaan program PAR Fatayat NU selama satu periode
Menerima atau tidak menerima laporan pertanggungjawaban PAR Fatayat NU.
Membahas dan menetapkan kebijakan organisasi, program kerja dan rekomendasi.
Memilih dan menetapkan Ketua Umum PAR Fatayat NU. Dan pengurus lengkap.
BAB IX
Pasal 41
PEMBENTUKAN PW DAN PC DI DAERAH PEMEKARAN
(1) PW/PC Fatayat NU induk (sebelum pemekaran) membentuk Karetaker untuk menyiapkan konferensi Fatayat NU di daerah pemekaran
(2) Karetaker bertugas melaksanakan Konferensi PW/PC Fatayat NU di daerah pemekaran
(3) Karetaker melaporkan hasil tugasnya kepada PW/PC Fatayat NU induk dengan tembusan kepada Pimpinan Fatayat setingkat diatasnya.
(4) Pengesahan PW/PC Fatayat NU di Daerah Pemekaran, dilakukan sesuai dengan prosedur. (lihat PD Pasal Pengesahan SK; Pasal 21-22)
Pasal 42
RAPAT KERJA
(1) Rapat Kerja dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam periode kepengurusan.
(2) Rapat Kerja dilaksanakan oleh pimpinan organisasi pada tingkatannya masing-masing:
Rapat Kerja Nasional dilaksanakan oleh PP dan dihadiri oleh Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah.
Rapat Kerja Wilayah dilaksanakan oleh PW dan dihadiri Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang.
Rapat Keja Cabang dilaksanakan oleh PC dan dihadiri Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang dan Ranting.
Rapat Kerja Cabang Istimewa, dilaksanakan oleh PCI dihadiri oleh PCI dan anggota atau PAC dan Ranting
Rapat Kerja Anak Cabang dilaksanakan oleh PAC, Pimpinan Ranting dan Pimpinan Anak Ranting
Rapat Kerja Ranting dilaksanakan oleh PR dihadiri oleh pengurus Ranting
Rapat Kerja Anak Ranting dilaksanakan oleh PAR di hadiri oleh pengurus anak ranting.
Pasal 43
RAPAT PIMPINAN
Dilaksanakan dan dihadiri oleh Pengurus pada masing-masing tingkatan.
(1) Rapat Pengurus Harian; dilaksanakan dan dihadiri oleh Pengurus Harian di masing-masing Tingkatan sekurang-kurangnya satu bulan sekali.
(2) Rapat Pleno; dilaksanakan dan dihadiri oleh Pengurus Harian, Bidang dan atau Lembaga/Yayasan di masing-masing tingkatan, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Pasal 44
KONGRES LUAR BIASA, KONPERENSI LUAR BIASA,
DAN RAPAT ANGGOTA LUAR BIASA
(1) Kongres Luar Biasa diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat.
(2) Konferensi Luar Biasa diselenggarakan oleh pimpinan ditingkatannya masing-masing
(3) Rapat Anggota Luar Biasa diselenggarakan oleh Pimpinan ditingkatan masing-masing.
(4) Kongres Luar Biasa/Konferensi Luar Biasa/Rapat Anggota Luar Biasa dapat diselenggarakan atas permintaan separuh lebih satu dari pemilik suara yang sah
(5) Kongres Luar Biasa/Kon-ferensi Luar Biasa/Rapat Anggota Luar biasa dapat dilaksanakan, apabila:
Mandataris terbukti tidak dapat melaksanakan amanat Kongres/Konperensi/Rapat Anggota maksimal 1 (satu) tahun setelah terpilih
Mandataris terbukti melangggar PD/PRT
(6) Kongres/Konperensi/Rapat Anggota Luar Biasa dapat mengubah mandataris.
(7) Mandataris yang dipilih oleh Kongres/ Konperensi/Rapat Anggota Luar Biasa hanya untuk menyelesaikan sisa masa jabatan.
BAB X
Pasal 45
MASA JABATAN
(1) Masa Jabatan Kepenguru-san ditingkatan :
a. PP, PW dan PC Fatayat NU adalah 5 (lima) tahun
b. PAC Fatayat NU adalah 3 (tiga) tahun
c. PR dan PAR Fatayat NU adalah 2 (dua) tahun
(2) Masa jabatan lembaga/yayasan sesuai dengan masa kepengurusan Fatayat NU
BAB XI
Pasal 46
KEUANGAN
(1)Sumber keuangan diperoleh dari:
Uang pendaftaran anggota yang ditetapkan sesuai kondisi masing-masing Cabang;
Uang iuran anggota setiap bulan yang ditetapkan oleh Cabang masing-masing dengan mempertimbangkan kondisi/ kemampuan Ranting;
Usaha-usaha yang halal; dan
Bantuan lain yang tidak mengikat
(2) Uang iuran diberikan oleh anggota setiap bulan dengan perincian sebagai berikut:
Untuk Pimpinan Anak Ranting 30%
Untuk Pimpinan Ranting 30%
Untuk Pimpinan Anak Cabang 15 %
Untuk Pimpinan Cabang 10 %
Untuk Pimpinan Wilayah 10 %
Untuk Pimpinan Pusat 5 %
BAB XII
Pasal 47
PERALIHAN
(1) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Rumah Tangga ini akan diatur menurut kebijaksanaan Pimpinan Pusat
(2) Peraturan Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
BAB XIII
Pasal 48
PENUTUP
Peraturan Rumah Tangga Fatayat NU ini hanya dapat diubah oleh Kongres
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
Jam :
Kongres XIV Fatayat NU
Pimpinan Sidang PD/PRT
Ketua :
Sekretaris :
Jika dipetakan secara umum, pergulatan dan dinamika perempuan NU (Fatayat NU) dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama, tahap perintisan (1950-1953). Tahap ini dimulai dari kota Surabaya, Jawa Timur dan sekitarnya oleh beberapa orang perempuan, yakni Khuzaemah Mansur, Aminah Mansur dan Murtosijah Chamid. Ketiganya dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai” pendiri Fatayat NU. Nama lain adalah Nihayah Bakri, Maryam Thoha dan Asnawiyah. Pada masa-masa ini, tenaga dan pikiran yang harus dikerahkan para perintisnya sungguh luar biasa. Mereka harus berjuang bagaimana meyakinkan organisasi induknya, yakni Nahdhatul Ulama' tentang perlunya dibentuk wadah perempuan dalam organisasi ini. Mereka melakukan loby-loby terhadap petinggi NU dan para kyai kharismatik. Tak jarang pula, mereka harus menghadapi tantangan yang dapat melemahkan semangat mereka. Proses yang mereka mulai pada tahun 1950 baru disahkan oleh PBNU sebagai organisasi badan otonom pada tahun 1952 pada Muktamar NU di Palembang.
Pada tahun-tahun tersebut, mereka membentuk komunitas organisasi dengan merekrut anggota yang dimulai dari orang-orang terdekat dan di sekitar wilayahnya yang kemudian menjadi embrio terbentuknya cabang-cabang, ranting dan wilayah. Mereka pun membuat program organisasi dengan dana yang benar-benar swadaya tanpa bantuan fihak lain. Kontribusi penting Fatayat NU yang perlu disebut pada periode ini adalah bahwa kehadirannya telah “mencerahkan” kaum perempuan lapisan bawah yang berkultur santri. Prioritas programnya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga sekolah guru. Mereka pun melakukan pemberantasan buta huruf (ini karena di NU saat itu banyak perempuan yang hanya bisa membaca huruf Arab, tetapi tidak bisa huruf latin), menyelenggarakan kursus keterampilan, seperti menjahit, menyulam, membordir, memasak, dan lain-lain. Disamping itu, menyelenggarakan kursus-kursus, seperti kursus bahasa Inggris. Bahkan pada saat menghadapi revolusi, mereka mengikuti latihan militer: menembak, menggunakan granat, dan sebagainya.
Sekalipun mereka berjuang memeras tenaga, pikiran dan materi, mereka bekerja tanpa mengharapkan imbalan. Mereka mencintai agamanya dengan tarikan nafasnya yang dalam dan diwujudkan melalui pengabdiannya pada organisasi dengan karya-karya sosial. Kata lain dengan sikap seperti ini adalah “ikhlas”, suatu sikap yang sesungguhnya sangat melekat pada kultur santri, sebagaimana yang menjadi identitas sosial organisasi NU.
Tahap kedua adalah periode pengembangan dan konsolidasi organisasi (1953-1969). Pada periode ini telah mulai terbentuk organisasi Fatayat di hampir seluruh Indonesia, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera mulai dari wilayah hingga ranting. Bahkan, pada tahun 1956, Fatayat NU telah menyelenggarakan kongres ke-3 di Medan dalam situasi yang tidak aman karena bertepatan dengan peristiwa “Pemberontakan Simbolon”. Ini menunjukkan bahwa Fatayat NU pada masa-masa ini telah mempunyai kesadaran kebangsaan bahwa organisasi ini bukan hanya semata-mata beranggotakan dan berbasis pada etnis tertentu, melainkan milik umat Islam di seluruh Indonesia.
Pada periode ini, disamping melanjutkan program yang telah dibentuk dan dilaksanakan oleh generasi perintis, Fatayat NU memperkuat programnya dengan kursus-kursus. Kursus bahasa Indonesia sangat ditekankan karena pada waktu itu anggota Fatayat dari berbagai wilayah dan cabang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, tetapi belum bisa komunikasi dengan bahasa nasionalnya.
Dalam upaya meningkatkan dan memperkuat sumber daya anggota, berbagai bentuk pelatihan kader kepemimpinan pun dilakukan. Dari berbagai proses pelatihan kader ini akan terseleksi calon-calon pemimpin perempuan yang kelak menjadi pemimpin organisasi, pemimpin agama dan pemimpin bangsa. Media komunikasi pun mulai dibuat dengan nama majalah “Melati“, meskipun hanya sempat terbit dengan tiga edisi. Kartu anggota pun mereka buat, mengingat sudah tersebarnya anggota Fatayat di seluruh Indonesia.
Sebagai usaha untuk mensosialisasikan organisasi Fatayat NU ke tengah-tengah masyarakat, berbagai kegiatan seremonial pun dilakukan, seperti pertunjukan drumband, menggelar Musabaqoh Tilawatil Qur’an dan lain-lain. Berkaitan dengan pertunjukan drumband ini, sepenggal kisah menarik bisa dicatat, yakni sejumlah aktifis Fatayat NU dipanggil oleh para Kyai karena mereka khawatir acara itu melanggar syariah. Dengan memberikan penjelasan pada tujuannya, para kyai pun akhirnya bisa memahami.
Kegiatan rutin lain yang sudah menjadi ciri khas perempuan NU adalah pengajian, yakni bersama-sama membaca al-Quran, tahlil, mambaca dibaiyah dan belajar bersama kitab kuning: Hadist, fiqih, tafsir, dan lain-lain. Dalam berbagai kegiatan tersebut, para Kyai seperti Kyai Muhammad Dahlan, Kyai Masykur, Kyai Syaifuddin Zuhri mendukungnya dengan dukungan material dan spritual.
Keseluruhan dari berbagai kegiatan tersebut dilaksanakan dengan biaya yang benar-benar swadaya. Mereka melakukan iuran dan berfikir keras supaya organisasi mempunyai dana. Khusnul Khatimah Sali menceritakan bahwa sejumlah anggota Fatayat NU yang pernah mengikuti kursus-kursus keterampilan seperti menjahit dan membuat kue diminta berjualan dengan modal dari organisasi dan pengolahnya adalah para anggota. Pakaian-pakaian atau kue-kue tersebut dijual pada saat-saat acara NU dan badan-badan otonomnya berlangsung. Laba dari penjualan tersebut seluruhnya masuk ke kas organisasi dan anggota Fatayat yang menjualnya sering menolak pembagian keuntungannya.
Di luar organisasi Fatayat, iklim pemerintahan pun memberikan ruang gerak yang cukup positif terhadap perempuan. Sejumlah saksi sejarah menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Soekarno banyak perempuan yang mengendalikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan mempunyai ketajaman intelektual. Hal serupa terjadi di lingkungan NU. Pada Kongres Syuriah NU tahun 1957 ditetapkan bahwa perlu ada perwakilan perempuan di legislatif (DPR/DPRD). Pada masa-masa ini sejumlah perempuan NU dari Partai politik NU pun menjadi anggota legislatif dari berbagai perwakilan daerahnya, seperti Maryam Junaidi dan Hadiniyah Hadi dari Jawa Timur; Mahmudah Mawardi dan Maryam Kartasumpena dari Jawa Tengah, dan Asmah Syahruni dari Kalimantan Selatan. Pada periode ini pun perempuan memperoleh ruang gerak yang cukup terhormat dalam dunia peradilan. NU adalah salah satu organisasi yang mempunyai pandangan keagamaan progresif yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim agama, suatu pandangan yang cukup maju di dunia Islam karena telah mengubah cara berfikir ketidakpercayaan sebagian besar orang yang dilegitimasi oleh penafsiran agama terhadap kesaksian perempuan. Pada tahun 1953, Syuriah NU menetapkan suatu kebijakan bahwa perempuan diperbolehkan memasuki Fakultas Syariah, dan sebagai konsekwensi dari kebijakan tersebut, perempuan diperbolehkan menjadi hakim agama, sebuah posisi yang hingga kini di beberapa negara Islam tidak diperbolehkan, seperti Malasyia dan Saudi Arabia. Kebijakan tersebut muncul ketika KH. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama RI (1953). Selain di legislatif, banyak juga perempuan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno menjadi pemimpin di tingkat lokal, seperi ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dan Kepala Desa, meskipun belum ada yang menjadi Bupati atau Gubernur. Bahkan pada tahun 1962, di antara anggota perempuan NU ada yang mencalonkan dirinya sebagai Kepala Desa (Kades) dan membutuhkan rujukan keagamaannya melalui pandangan para ulama (Syuriah PBNU). Maka pada tahun 1962, Muktamar PBNU di Salatiga, mengeluarkan fatwa bahwa perempuan NU diperbolehkan menjadi kepala desa. Berkaitan dengan hal ini, Khusnul Khotimah Sali, salah seorang pelaku sejarah menyatakan keheranannya dengan situasi sekarang ini yang masih mengekang perempuan untuk menjadi pemimpin, seperti Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan kepala desa, karena pada masanya hal tersebut dipandang lumrah sepanjang mampu dan bisa dipercaya.
Perempuan NU pun pada masa-masa ini bisa mengeluarkan pandangan-pandangannya dalam jajaran Pengurus Syuriah Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Pada tahun 1956, nama-nama yang pernah masuk dalam jajaran ini adalah Khairiyah Hasyim, Nyai Fatmah dan Machmudah Mawardi.
Rezim pun berganti dan iklim politik pemerintahan pun berubah. Saat Indonesia memasuki era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, organisasi NU dan badan-badan otonom lainnya seperti Fatayat NU dikontrol ruang geraknya sehingga ia mengalami ketidakleluasaan beraktifitas. Mengenai kontrol dan marjinalisasi pemerintah Orde Baru terhadap NU dan juga badan-badan otonomnya lainnya seperti Fatayat, Asmah Syahruni menyatakan penyesalannya dengan mengatakan bahwa NU pada masa Orde Lama turut membantu menggulingkan rejim karena mengakomodasi kelompok komunis, tetapi setelah Orde Baru berkuasa, NU dibuat mati kutu dan tidak berdaya olehnya. Ia menggambarkan suasana psikologis anggota NU pada masa-masa ini sebagai suasana ketakutan. Sejumlah pegawai negeri yang berafiliasi pada organisasi NU tidak berani mengatakan bahwa dirinya NU, karena resiko yang harus dihadapi adalah intimidasi dan pemecatan.
Diceritakan pula oleh Aisyah Hamid Baidhowi bahwa beberapa pengurus daerah sering menolak kedatangan pengurus pusat PP Fatayat NU maupun Muslimat, karena khawatir diketahui pemerintah. Asmah Syahruni dan H. S.A. Wahid Hasyim, misalnya, pernah mengalami penolakan dari mantan Ketua Muslimat Ponorogo, karena ada anaknya yang menjadi lurah. Daripada membahayakan anaknya yang lurah itu, dia kirim surat yang isinya: “Saya masih tetap cinta Muslimat, tapi jangan datang ke rumah saya.” Karena situasinya demikian menekan, banyak pula warga NU saat itu yang memilih berkompromi, seperti masuk Golkar, partainya pemerintah.
Pada masa-masa ini, selama kurang lebih dua belas tahun lamanya, Fatayat NU mengalami masa-masa vakum. Kendati demikian, pengurusnya masih tetap ada, tetapi aktifitasnya tidak berjalan. Ketua Umum PP Fatayat NU pada masa ini adalah Malichah Agus.
Setelah hampir dua belas tahun tidak mempunyai aktifitas yang berarti, pada tahun 1979, Muslimat dan Fatayat NU menggelar Kongres di Semarang. Saat itu, ketua umum yang terpilih adalah Mahfudhoh Ali ubaid. Ia bersama pengurus yang lain mulai membangkitkan kembali organisasi Fatayat dengan memulai kembali konsolidasi organisasi di berbagai wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Konsolidasi pada awalnya dilakukan secara tiarap dan dengan sembunyi-sembunyi, tetapi ketika Fatayat memulai program yang sejalan dengan program pemerintah, yakni Keluarga Berencana (KB), konsolidasi pun bisa dilakukan secara lebih leluasa.
Fatayat NU pada masa-masa ini memang harus berkompromi dengan kebijakan pemerintah. Jika tidak, Fatayat akan mengalami penghancurannya sebagaimana yang terjadi pada organisasi-organisasi lain yang saat itu bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah Orde Baru melalui oganisasi-organisasi perpanjangan tangannya seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK menggalakkan program Keluarga Berencana, keterampilan-keterampilan seputar rumah tangga dan kesehatan Ibu dan Anak. Organisasi Fatayat pun menyokongnya dengan program serupa. Mahfudoh Ali Ubaid, Ketua Umum PP Fatayat NU 1979-1989 mengemukakan bahwa program pemerintah yang diikuti Fatayat adalah Posyandu, apotik hidup, dasa wisma yang seluruhnya masuk dalam program Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Pada awalnya, PBNU melarang Fatayat dan Muslimat beraliansi dengan organisasi-organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru, seperti PKK, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Hal ini karena pada tahun 1984, melalui Muktamar di Situbondo, NU menetapkan dirinya kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia melalui gerakan sosial keagamaan. Kerja sama Fatayat dan Muslimat dengan organisasi-organisasi bentukan pemerintah Orde Baru tersebut dikhawatirkan akan mengurangi kenetralan NU dalam berpolitik dan diafiliasikan kepada partai politik yang berkuasa saat itu, yakni Golongan Karya.
Tetapi penolakan PBNU ini berhasil ditepis oleh dua organisasi perempuan di bawah NU, yakni Muslimat NU dan Fatayat, karena apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah bagian dari strategi bagaimana menghidupkan kembali organisasi dengan menggerakkan anggota yang tergabung dalam PKK di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai sebuah catatan bahwa anggota PKK di daerah-daerah sebenarnya juga anggota Fatayat atau Muslimat NU.
Pada masa-masa ini, Fatayat pun mulai berkenalan dengan organisasi internasional seperti UNICEF, ADB, dan lain-lain. Meski pada awalnya kerja sama dengan penyandang dana organisasi asing ini memperoleh penolakan dari sebagian jam’iyyah NU karena dianggap bekerja sama dengan “orang kafir”, tetapi tokoh NU yang berlatar belakang pendidikan universitas moderen seperti Dr. Fahmi D. Saifuddin Zuhri, MPh yang didukung oleh Ny. H. S.A. Wahid Hasyim, berhasil meredam penolakan tersebut. Organisasi Fatayat yang semula berkultur agraris mulai bergerak dan beradaptasi dengan dunia modern yang berorientasi pada bekerja profesional, terencana dan terukur dengan rencana anggaran yang juga harus jelas.
Dari berbagai kegiatan Fatayat NU yang bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan lembaga internasional ini, Fatayat pada masa-masa ini memulai kembali menghidupkan organisasi secara nasional. Mahfudoh Ali Ubaid menuturkan bahwa dengan dana simpanan hasil kerja sama dengan berbagai badan penyandang dana tersebut, Fatayat NU berhasil mewujudkan program-program organisasi mulai dari Pusat, wilayah, cabang dan ranting. Program pengkaderan pun digiatkan kembali yang dilakukan dengan dua pendekatan: Pertama, pengkaderan formal yang dilaksanakan sesuai dengan modul pelatihan yang dibuat oleh tim kader PP Fatayat NU. Kedua, pelatihan kader non formal yang berbentuk pelatihan-pelatihan singkat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan organisasi.
Pada sekitar tahun 1990an, Fatayat NU bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai gerakan perempuan yang berperspektif gender, sebuah perspektif yang membongkar (dekonstruksi) pemahaman lama tentang peran gender setidaknya dalam tiga hal. Pertama, pembongkaran terhadap makna “kodrat” atau sesuatu yang dipandang ‘alamiah’ bagi perempuan. Kedua, membongkar pemahaman lama tentang argumentasi pembagian kerja secara seksual. Ketiga, perspektif ini membuka ruang untuk menelusuri akar-akar sejarah sosial mengapa muncul subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan seraya mengenali kekuatan diri untuk dapat mengorganisir kekuatan kolektif. Selain itu, pendekatan ini pun mengedepankan program pembangunan yang partisipatif untuk kedua gender dengan penekanannya pada pendekatan pemberdayaan, sebuah pendekatan yang terkait dengan usaha bagaimana pembangunan dilakukan bukan dari atas ke bawah (top down), melainkan dari bawah ke atas (bottom up).
Perspektif ini pada awalnya dipergunakan oleh sejumlah LSM-LSM perempuan yang berkembang pada masa itu untuk melakukan kritik terhadap ideologi negara tentang perempuan. Umum diketahui bahwa pemerintah Orde Baru mendasarkan ideologi gendernya pada konsep “ibuisme”, sebuah ideologi yang menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun peran yang sesungguhnya lebih dari sekedar itu. Pandangan ini memperoleh kritik bahwa sesungguhnya peran perempuan pada sebagian besar wilayah di Indonesia tidak hanya terbatas pada peran kerumahtanggaan, tetapi banyak diantaranya yang menjadi pencari nafkah utama dan berfungsi sebagai kepala rumah tangga. Karena itu, alokasi peran yang ditentukan oleh ideologi ini seringkali bertentangan dengan kenyataan obyektif perempuan Indonesia yang ada, terutama perempuan-perempuan miskin di pedesaan.
Fatayat NU pada sekitar 1990 an mengadopsi perspektif tersebut dengan mengadakan latihan-latihan analisis gender. Bagi Fatayat NU, yang utama dipergunakan dari analisis gender adalah sebagai pisau bedah untuk melihat teks-teks keagamaan Islam, terutama al-Quran, Hadis dan berbagai literatur hukum Islam dengan paradigma baru, terutama yang berkaitan dengan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Sejumlah isu-isu sensitif yang berkaitan dengan isu seksualitas yang semula dianggap tabu dibicarakan, mulai dibongkar dengan pemaknaan dan pemahaman yang lebih luas. Isu seksualitas yang dimunculkan bukan hanya semata-mata persoalan individu, tetapi ia memiliki implikasi sosial yang lebih luas. Persoalan domestik perempuan erat kaitannya dengan persoalan dunia publiknya, karena itu ketika Fatayat mengungkap persoalan poligami, sunat perempuan, aborsi, hak menentukan pasangan hidup, dan lain-lain adalah bukan hanya sekedar pada persoalan isunya, jauh lebih penting adalah upaya perebutan monopoli tafsir agama dan hak-hak politik perempuan dengan makna dan cakupan yang luas.
Semula konsep gender mempunyai penolakan yang sangat keras dari sebagaian besar kalangan Kyai. Penolakan ini setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi: Pertama, konsep gender merupakan konsep asing (barat) yang belum tentu sesuai dengan relasi gender dalam masyarakat Indonesia, khususnya Islam. Kedua, konsep ini dikhawatirkan merongrong ajaran Islam, terutama Islam yang difahami oleh kalangan Nahdyiyyin. Ketiga, ada ketidaksiapan dari sebagian mereka dengan perubahan pola relasi suami-istri dalam rumah tangga.
Tetapi penolakan tersebut berhasil ditepis oleh sejumlah intelektual dan ulama NU yang mempunyai pemikiran progresif dan terbuka pada perubahan. Sejumlah nama yang bisa disebut di sini adalah Masdar F. Mas’udi, KH. Husein Muhammad, KH. Agil Siradj dan beberapa nama lain yang memberikan dukungan terhadap sejumlah perempuan NU yang berjuang untuk menegakkan keadilan antara laki-laki dan perempuan di tubuh NU.
Nama lain yang harus disebut atas kontribusinya pada tersosialisasinya ide-ide keadilan gender adalah KH. Abdurahman Wahid. Pada saat pemikiran kesetaraan dan keadilan gender ini digulirkan di Fatayat NU, saat itu beliau menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU. KH. Abdurrahman Wahid-lah yang memungkinkan terbukanya organisasi NU pada ide-ide perubahan. Ia juga yang membuka kran munculnya pemikiran Islam yang berorientasi pada wawasan kosmopolitan: berorientasi pada keadilan gender, terbuka pada agama lain, mempunyai wawasan nilai universal, berjuang menegakkan negara yang demokratis dengan berprinsip pada penegakkan nilai-nilai Hak-hak Asasi Manusia.
Pada masa-masa ini, kader Fatayat NU pun banyak yang terinspirasi oleh pemikiran KH. Abdurrahman Wahid. Untuk menyebut sedikit nama adalah Dr. Musdah Mulia dan Maria Ulfah Anshor. Pada masa kepengurusan merekalah ide-ide kesetaraan gender ini digulirkan, yang bukan hanya sekedar pergumulan wacana, melainkan diimplementasikan dalam bentuk aksi-aksi kongkret. Dengan sumber daya perempuan yang dimiliki oleh Fatayat NU dari berbagai latar belakang pendidikan, mereka bekerja melakukan advokasi pada tingkat kebijakan, melakukan kegiatan penyadaran di tingkat lapisan masyarakat akar rumput dan mendirikan lembaga-lembaga yang berusaha memberikan solusi atas problem-problem kongkret yang dihadapi masyarakat, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan perempuan. Sekarang ini, Fatayat NU mempunyai 26 unit di 26 kabupaten Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan (LKP2) dan Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER) di berbagai wilayah Indonesia.
Kontribusi penting Fatayat NU yang harus disebut dalam dekade terakhir ini adalah ia telah mendidik perempuan dari kultur santri bagaimana seharusnya ia menjadi ”manusia yang utuh ” dengan pilihan-pilihan yang dikehendakinya. Kendati ia harus berhadapan dengan pemahaman keagamaan yang sangat lekat dengan sistem ajaran yang mengkerdilkan perempuan, tetapi sejumlah perempuan NU pada dekade terakhir ini mencoba keluar dari lorong-lorong pemaknaan tersebut dengan mempertanyakan kembali secara mendasar eksistensi mereka melalui penafsiran agama, konsep seksualitas dan politik perempuan. Pada akhirnya, keseluruhan proses dan perubahan tersebut terjadi karena Fatayat NU bersentuhan dengan ruang dan waktu. Ia terbuka pada perubahan dengan situasi yang terus berubah. Ia menyerap, merefleksikan, menyusun strategi dan memulai aksi. Tak jarang pula, dalam prosesnya ada tangis dan airmata. Hal yang tak berubah dari pelbagai perubahan tersebut adalah aktifis perempuan Fatayat NU dalam melakukan strategi perjuangannya tetap tidak beranjak pada al-Quran sebagai rujukan utama dan pertamanya, as-Sunnah sebagai landasan berikutnya dan rujukan para ulama yang termaktub pada nilai-nilai ”Ahlussunnah wal-Jamaah” sebagai pijakannya.
Semoga bermanfaat.