3 Versi Asal Muasal Aksara Jawa
ⒶⓁ ⒽⒾⓀⓂⒶⒽ
Aksara Jawa merupakan warisan para leluhur kita yang ternyata sudah sedari dulu mereka melek literasi dan mempunyai tingkat intelektual yang mumpuni. Huruf Jawa sendiri bisa dikatakan memiliki keunggulan dibandingkan aksara lain di dunia. Coba perhatikan susunan ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga. Dari susunan huruf Jawa tersebut menunjukkan bahwa pembuatnya memiliki jiwa seni yang begitu tinggi karena susunan huruf Jawa tidak disusun secara serampangan melainkan juga memperhatikan nilai estetika dan nilai filosofis yang begitu apik.
Terlepas dari isi kandungan huruf Jawa, ada pertanyaan yang hingga kini masih belum ditemukan titik terangnya. Yakni perihal siapa sebenarnya penemu aksara Jawa? Kapan aksara Jawa ditemukan? Apakah aksara Jawa ditemukan ketika Nusantara sudah memasuki zaman sejarah? Atau jangan-jangan sejak zaman pra-sejarah bangsa kita, khususnya Jawa sudah mengenal aksara Jawa?
Diakui hingga saat ini belum ada jawaban valid dan meyakinkan yang mampu menjawab pertanyaan di atas. Namun, setidaknya ada tiga pendapat yang bisa mengobati rasa penasaran kita mengenai penemu aksara Jawa.
Baca juga :
Batik, Asal Muasal & Makna Batik
Babad Tanah Jawi dan Ramalan Raja Sultan Agung
Sjarah kemermerdekaan Indonesia Lengkap dan Singkat
Pertama, Aji Saka diyakini sebagai pencipta aksara Jawa. Demikianlah narasi yang banyak diyakini oleh sebagian masyarakat melalui cerita turun-temurun antar generasi. Aji Saka ialah pemuda asal India yang baru saja menyelesaikan studi di sebuah padepokan. Bersama dua rewangnya, Dora dan Sembada, Saka melakukan pengembaraan untuk menemukan sebuah negeri yang subur makmur loh jinawi bernama Nusantara. Terbebani dengan barang bawaan yang begitu berat, ketiganya singgah di Pulau Majeti dan Dora diminta Saka untuk tinggal sementara di pulau tersebut dengan memberikan pesan bahwa Dora harus menjaga barang-barang milik Saka. Suatu saat ia akan kembali lagi untuk menjemput Dora. Tak boleh ada seorang pun selain Saka yang boleh mengambil barang-barang tersebut.
Singkat cerita, Saka berhasil menjadi raja di negeri yang selama ini ia cari setelah berhasil mengalahkan Dewatacengkar, raja lalim pemakan manusia. Ia pun teringat kawan seperjuangannya dahulu, Dora, yang masih tinggal Pulau Majeti. Akhirnya, Saka memerintahkan Sembada untuk mengambil barang-barang miliknya sekaligus menjemput Dora supaya mereka bertiga dapat berkumpul lagi di negeri yang makmur dan tenteram tersebut.
Sembada berangkat ke Pulau Majeti dan sesampainya ia ke rumah Dora, Sembada menjelaskan maksud kedatangannya untuk mengambil barang-barang milik Saka dan mengajak Dora untuk tinggal di negeri Saka. Ternyata Dora tidak gampang percaya begitu saja. Sebab ia teringat pesan sang tuan bahwa hanya sang tuan yang berhak mengambil barang-barang tersebut. Keduanya mempunyai argumentasi yang kuat dan mempertahankan keyakinan mereka karena perintah sang tuan. Dan, pertarungan antara keduanya tak dapat dihindarkan. Keduanya sama kuatnya. Akhirnya baik Dora maupun Sembada mati sampyuh, tewas semuanya.
Prabu Aji Saka terpukul mengetahui fakta kedua panakawan setianya mati karena saling mempertahankan kesetiaan kepada sang tuan. Setelah mengubur jenazah pembantunya, ia pun tergerak untuk bertapa. Kemudian ia mendapatkan ilham tentang serangkaian huruf yang ia tulis di atas sebuah prasasti yang berbunyi:
Ha na ca ra ka (Ada utusan)
Da ta sa wa la (Saling berdebat, bertengkar)
Pa dha ja ya nya (Keduanya sama-sama sakti)
Ma ga ba tha nga (Terserah kepada Anda, semuanya menjadi bangkai)
Kedua, Moch. Choesni mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat pertama. Ia mengilustrasikan aksara Jawa erat kaitannya dengan penyerangan Mongol ke Singasari yang berhasil digagalkan oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja pada tahun 1293 dengan melakukan tipu muslihat kepada pasukan Mongol sehingga mereka tak jadi menaklukkan Singasari tapi malah membantu Singasari dalam menaklukkan Kadiri. Adapun ilustrasi Choesni yakni; Ha-na-ca-ra-ka (ada utusan), da-ta-sa-wa-la (tanpa peperangan), pa-dha-ja-ya-nya (sama-sama jaya, tercapai cita-citanya), dan ma-ga-ba-tha-nga (mangga batagen; silahkan ditebak). Jika merujuk pada pendapat ini, aksara Jawa pertama kali diciptakan di era awal Majapahit berdiri.
Ketiga, Wasisto memiliki pendapat bahwa pencipta aksara Jawa adalah Jnanabhadra, seorang sarjana asli Jawa dan Pendeta Budha Hinayana. Jnanabhadra menjabat sebagai Emban Tuwanggana serta Mahapatih Mangkubumi saat Sanjaya berkuasa di Mataram kuno. Lebih lanjut, Wasisto menyebut Jnanabadra memiliki nama lain Dahyang Smarasanta atau lebih dikenal dengan Semar. Sehingga jika merujuk pada pendapat ini, aksara Jawa mulai diperkenalkan di era Mataram kuno yaitu sekitar pada abad delapan Masehi.
Tags
INFORMASI