Syaikhona Kholil BANGKALAN Madura, Provinsi Jawa Timur.

 Al-'Alim al-'Allamah asy-Syekh Haji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil adalah seorang Ulama kharismatik dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Wikipedia

Lahir: Desember 1820, Kemayoran
Meninggal: Desember 1925, Mertajasah
Kebangsaan: Indonesia
Orang Tua: Abdul Lathif

Kiai Kholil


  Kata Kata Hikmah -Tepatnya pada Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H, Kiai Kholil dilahirkan di Kampung Senenan, Kemayoran, Bangkalan, Madura, dari rahim seorang ibu istri dari H. Abdul Latief, yang masih keturunan dari Sayyid Sulaiman, Mojoangung cucu dari Sunan Gunung Jati.

Pada masa mudanya, Muhammad Kholil memulai pendidikan dari Pesantren Langitan, Tuban di bawah asuhan Kiai Muhammad Nur. Kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain untuk mereguk lautan ilmu, khususnya tentang agama.

Setelah merasa banyak mendapatkan ilmu dari pesantren-pesantren di tanah air, Muhammad Kholil ingin meneruskan studinya ke Mekkah. Karena di sana banyak ulama-ulama besar atau syeikh yang ‘alamah. Di dalam pengembaraan mencari ilmu, Muhammad Kholil membiasakan diri untuk senantiasa hidup prihatin. Diceritakan, bahwa Muhammad Kholil ketika berada di Mekkah, lebih sering memakan kulit buah semangka daripada makanan lain yang lebih layak. Teman-temannya seangkatan, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Khatib Minangkabau dan Syeikh Muhammad Yasin Padang sangat takjub dengan kebiasaan temannya itu.

Setelah dirasa cukup di dalam menuntut ilmu di Mekkah, kemudian ia pulang ke kampung halaman untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkan tersebut. Muhammad Kholil atau yang akhirnya terkenal dengan sebutan syaikhona Kholil Bangkalan ini terkenal sebagai ahli fiqh dan ahli tarikat, juga seorang al-hafidz (hafal AlQur’an 30 juz).

Kiai Kholil pertama-tama mendirikan Pesantren di Desa Cangkebuan. Karena ia telah dikenal oleh masyarakat akan kealimannya, maka tidak menunggu lama pesantren yang didirikannya banyak didatangi calon-calon santri dari berbagai daerah, termasuk pemuda Hasyim Asysy’ari dari Jombang  yang ingin menuntut ilmu. Namun setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, Kiai Muntaha, pesantren di Desa Cengkebuan diserahkan kepada menantunya. Kemudian Kiai Kholil mendirikan Pesantren lagi di Desa Kademangan, dekat kota Bangkalan.

Selain seorang fuqaha dan ahli tarikat, beliau dikenal orang sebagai hamba Allah yang memiliki kelebihan-kelebihan yang bersifat mistis. Atau orang jawa bilang: weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum diberitahu=dapat melihat hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari).

*

Pada suatu hari di bulan Syawal, Kiai Kholil memanggil santri-santrinya. Mereka disuruh untuk menjaga pintu gerbang Pesantren, karena menurut sang Kiai Pesantrennya akan didatangi Macan. Selama beberapa hari berturut-turut para santri saling bergantian untuk menjaga pintu gerbang Pesantren, sambil menunggu kedatangan Macan itu. Karena, pada saat itu di sekitar pesantren masih terdapat hutan dengan tumbuh-tumbuhan yang rimbun, para santri menyangka Macan itu akan datang dari dalam hutan.

Setelah ditunggu-tunggu, maka pada minggu ke tiga di bulan itu datanglah seorang pemuda yang berperawakan kurus dengan membawa tas yang berisi perbekalan untuk nyantri, masuk ke lokasi Pesantren. Sesampai di depan pintu rumah Kiai Kholil, pemuda itu mengucapkan salam, selayaknya orang-orang bertamu. Namun apa yang terjadi, bukan jawaban salam yang ia terima, Kiai Kholil malah memanggil santri-santrinya yang telah siaga selama berhari-hari kalau-kalau ada macan yang datang dan masuk ke halaman Pesantren.

“Ada macan..., ada macan.., yang masuk ke pesantren, ayo kita kepung...!” teriak Kiai Kholil memberitahukan kepada santri-santrinya.

Seraya mendengar teriakan sang guru, santri-santri pada berhamburan keluar sambil membawa senjata masing-masing: parang, pedang, celurit, tongkat, dan senjata lainnya, mengepung “macan” yang tak lain adalah pemuda kurus yang ingin nyantri di pondok Kiai Kholil itu. Karena dikepung oleh para santri, kemudian ia pergi. Namun, karena sangat kuatnya keinginan untuk menjadi murid Kiai Kholil, ia kembali lagi dan malam harinya tidur di masjid pondok.

Di malam itulah, Kiai Kholil kemudian mendatangi pemuda yang sedang tertidur di dekat bedug masjid Pesantren. Dan betapa bahagianya ia, karena pada saat itu pula keinginannya untuk menyantri diterima sang guru. Pemuda yang disebut “macan” itu adalah Abdul Wahab Chasbullah, yang di kemudian hari ia menjadi Ulama Besar. Dan menjadi macan, yang disegani oleh kawan dan lawan.

Kewaskitaan Kiai Kholil tidak hanya sampai disitu. Hampir setiap yang beliau lakukan hampir pasti merupakan bentu-bentuk isyarat bagi siapa yang menemuinya.  Pernah pada saat, di kala bumi Bangkalan diguyur hujan lebat, maka datanglah seorang perempuan sambil menggendong bayi, yang tak lain adalah Nafiqah istri dari Kiai Hasyim Asysy’ari, Jombang.

Sesampai di depan pintu rumah Kiai Kholil, wanita itu mengucapkan salam berulang-ulang, namun hingga hampir putus asa belum juga ada tanda-tanda tuan rumah menghampirnya. Namun di dalam keputusasaannya, maka datanglah tuan rumah menghampirinya. Namun bukan untuk disuruh masuk, akan tetapi malah dihardik, dan disuruh ke tengah halaman dalam keadaan terguyur hujan yang deras, sehingga membuat ibu dan bayi tersebut bayah kuyub.

Benarlah, bahwa ternyata apa yang dilakukan Kiai Kholil pada saat itu adalah merupakan bentuk isyarat, bahwa Abdul Wahid Hasyim meninggal dunia pada saat hujan yang lebat, yaitu ketika dalam perjalanan Jakarta-Bandung bersama putra sulungnya, Abdurrahman AdDakhil, yang kemudian terkenal sebagai Abdurrahman Wakhid atau Gus Dur. Dalam peristiwa itu, Abdul Wakhid Hasyim nyawanya tidak tertolong, sedangkan Abdurrahman selamat.

Di waktu yang lain, Kiai Kholil memanggil santrinya, yang bernama Abdullah. Ia terkenal sebagai santri yang tidak berada atau miskin. Namun oleh sang guru diperintah untuk naik haji, karuan saja Abdullah menjadi bingung. Akan tetapi karena perintah guru, maka ia menurut dengan menganggukkan kepalanya berkali-kali. Pada waktu yang lain, Kiai Kholil memanggil juga santrinya yang bernama Zaid. Ia terkenal santri dari keluarga yang berada. Kemudian oleh sang guru juga diperintah untuk pergi haji, namun menurut perhitungannya, karena biaya haji itu tidak sedikit, maka ia menjawab, bahwa dirinya tidak cukup mampu untuk pergi haji.

Maka di kemudian hari ternyata benar. Kendati Abdullah pada saat nyantri tidak memiliki apa-apa, namun akhirnya ia dapat pergi haji sebanyak anggukan kepala sebagai tanda patuh kepada perintah Kiai Kholil. Dan, sebaliknya Zaid, ia hingga akhir hayatnya tidak mampu pergi haji, sebagaimana jawabnya ketidak di hadapan sang guru.

*

Karena masa kehidupan Kiai Kholil adalah pada masa penjajahan Belanda, maka beliau pun turut serta di dalam membela bangsa dan negara.

Kiai Kholil telah melahirkan Kiai-kiai besar, khususnya di tanah Jawa: Kiai Hasyim Asysy’ari, KH Wahab Cahsbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abdul Karim, dll.


SEMOGA BERMANFAAT.

KATA KATA HIKMAH






Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama