Memahami Kehidupan, Memahami Agama.
Salah satu natur alamiah manusia adalah kebutuhan untuk memahami sesuatu hingga ke esensinya. Demikian pula dalam upaya manusia memahami diri, dunianya, dan agamanya. Dan semakin kita mendalami agama, cepat atau lambat kita akan bertemu dengan sisi batin agama.
Dalam menyelami agama, semakin lama kita akan semakin membutuhkan pemahaman yang lebih presisi tentang hal-hal tertentu. Dan natur kita, manusia, pada akhirnya tidak akan terpuaskan lagi dengan hal-hal yang sifatnya pemahaman tekstual saja, atau mengasosiasikan satu bangunan besar Ad-Diin yang utuh lahir batinnya semata-mata hanya sebagai hafalan dalil-dalil. Di titik ini, manusia membutuhkan makna, sesuatu yang lebih hakiki untuk dipahami, baik dari agama maupun dari kehidupannya sendiri.
Dalil
Q. 3:19.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi AI Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Q. 3:85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Baca juga : ISLAM JALAN KEMULIAAN
Pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, seperti apa hidup itu sebenarnya, mengapa Al-Qur’an tidak mudah dipahami strukturnya maupun esensinya, apa beda iman dan takwa, apa makna presisi dari “yaumid-Diin” (hari Ad-Diin), apa makna “ulil albab”, apa beda “amal” dan “amal shalih”, untuk apa amal jika Allah telah memiliki ketetapan atas segala hal, dan apa maksud Rasulullah SAW yang menjawab dengan “sesungguhnya manusia diciptakan untuk apa-apa yang dimudahkan baginya”, ketika para sahabatnya yang mulia bertanya tentang untuk apa sebenarnya manusia beramal—ini adalah contoh-contoh persoalan yang harus terpahami hingga ke hati, dengan pemahaman yang presisi.
Dalam pemahaman yang lebih hakiki, Ad-Diin tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing. Baik Ad-Diin, Al-Qur’an, kehidupan ini maupun diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab dari Allah Ta’ala yang harus dibuka dan dipahami. Oleh karena itu, untuk memahami diri dan kehidupan adalah dengan memahami Ad-Diin, dan demikian pula sebaliknya.
Ad-Diin tidak bisa terpisahkan dari takdir kehidupan kita masing-masing. Baik Ad-Diin, Al-Quran, kehidupan ini maupun diri kita, masing-masing adalah sebuah kitab dari Allah Ta’ala yang harus dibuka dan dipahami.
Esensi Agama
Berbeda dengan asumsi umum bahwa pertimbangan paling dasar dalam agama adalah dalil-dalil hukum syariat, semakin lama kita akan menyadari bahwa ada pertimbangan yang lebih mendasar daripada sekedar hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, titik tolak perilaku yang dianggap “baik” dalam agama bukan saja yang sesuai dengan hukum fikih dan syariat saja, namun bahkan ada yang lebih mendasar dari itu.
Sebagai contoh: aurat pria. Batasan aurat bagi pria adalah semua bagian tubuh antara pusar hingga lutut. Itu wajib ditutup terhadap semua orang yang bukan mahramnya.
Lalu, syarat sah shalat adalah menutup aurat. Secara fikih, jika shalat hanya mengenakan celana dari pusar sampai lutut dan tak mengenakan baju atasan, maka shalat tersebut sah. Tidak ada yang bisa mengganggu gugat hal ini.
Kemudian, dia pergi ke masjid, lalu menjadi imam shalat di sana—dengan pakaian yang sama: celana selutut dan tanpa baju atasan. Sahkah shalat berjamaah tersebut? Sah, jika hanya fikih, atau syariat lahiriah, yang jadi pertimbangannya.
Tapi maukah Anda menjadi ma’mumnya? Anda akan marah, menganggapnya lancang, dan merasa terhina dengan cara imam berpakaian ketika menjadi imam shalat.
Sah, secara fikih. Tapi bagaimana mungkin seseorang menghadap Allah Ta'ala atau menjadi imam dengan pakaian seperti itu? Apakah Allah Ta’ala berkenan? Apakah ia telah menghargai Allah Ta’ala maupun seluruh jamaah dengan sikap seperti itu, atau ia hanya mempermainkan hukum saja?
Atau, seorang anak lelaki sah secara hukum syariat, jika dia menikah tanpa memberi tahu orangtuanya sama sekali. Namun, apakah ia telah menghargai ayah ibunya—yang telah bersusah payah membesarkannya— dengan bersikap seperti itu?
Agama harus dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik itu aspek lahir maupun aspek batin, baik itu syariat dan hukum fikih maupun adab, rasa, niat, ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala. Agama tidak akan utuh sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam-alam, jika diidentikkan atau hanya memfokuskan salah satu aspeknya saja.
Agama harus dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh, baik itu aspek lahir maupun aspek batin, baik itu syariat dan hukum fikih maupun adab, rasa, niat, ketulusan hati dan kesempurnaan perilaku di mata Allah Ta’ala.
Ad-Diin sesungguhnya bukan hanya ritual, mazhab, sederetan dalil, atau hukum syariat saja. Ad-Diin sesungguhnya jauh, jauh lebih besar dan jauh lebih dalam dari itu.
Agama ini kokoh dan kuat. Masukilah dengan lunak dan jangan sampai timbul dalam dirimu kejenuhan beribadah kepada Rabb-mu. – H.R. Al-Baihaqi
Perumpamaanku dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang belum terselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan terkagum-kagum sambil berkata: 'Duh, seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini'. Beliau bersabda, 'Maka, aku lah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi.' – H.R. Bukhari, Muslim
SEMOGA BERMANFAAT.