Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid


Islamku
Islam anda
Islam kIta

Agama Masyarakat Negara Demokrasi

Abdurrahman Wahid
Islamku
Islam anda
Islam kIta
Agama Masyarakat Negara Demokrasi
KATA PENGANTAR: dR. m. sYaFI’I anWaR
 
Islamku Islam anda Islam kita agama masyarakat negara demokrasi
Abdurrahman Wahid kata Pengantar:
M. Syafi’i Anwar
Penyelaras akhir:
Ahmad Suaedy
Rumadi
Gamal Ferdhi Agus Maftuh Abegebriel
Rancang sampul:
M. Novi Widhi Cahya setting/layout: M. Isnaeni “Amax’s” Hanung Seto
xxxvi + 412 halaman: 15,5 x 23,5 cm IsBn 979 - 98737- 0 – 3 Cetakan I : Agustus 2006 diterbitkan oleh:
 
Jl. Taman Amir Hamzah No. 8
Jakarta 10320, Indonesia
Telp. : +62-21-3928233 Fax  : +62-21-3928250
Email : info@wahidinstitute.org
Website  : www.wahidinstitute.org
 
Pengantar Redaksi
ahwa “Tuhan tidak perlu dibela”, itu sudah dinyatakan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam suatu tulisannya yang kemudian menjadi judul 
salah satu buku kumpulan karangannya yang diterbitkan beberapa tahun lalu. Tapi, bagaimana dengan umat­Nya atau manusia pada umumnya? 
“Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi. “Pembelaan”, itulah kata kunci dalam esai­esai kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid kali ini. Maka, bisa dikatakan, esai­esai ini berangkat dari perspektif korban, dalam hampir semua kasus yang dibahas.
Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukannya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sendiri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwa seolah Wahid sedang mencari muka ketika harus mengorbankan dirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, klenik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen Zionis Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinya ketika harus membela korban.

Islamku Islam anda Islam kIta
Bahkan jika dia sendiri yang jadi korban, tidak akan ragu juga untuk memperjuangkannya, seperti kasus diskriminasi yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam pemilihan presiden 2004. Hanya untuk tidak meloloskan dia menjadi calon presiden, KPU merekayasa sebuah aturan yang aneh bin diskriminatif dengan melanggar UUD 45 dan perundanganundangan yang ada, yang di masa depan yang panjang, mungkin baru akan terasa bahwa hal itu akan menjadi problem besar bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi dan kedaulatan hukum. Meskipun ia selama ini selalu menjadi pembela orang lain, ia tidak ambil pusing –ketika dirinya menjadi korban, tak ada yang membantu atau membelanya.
Wahid dalam esai­esainya ini melakukan pembelaan mulai dari Inul Daratista yang dikeroyok oleh para seniman terkemuka di Jakarta dengan alasan agama, Ulil Abshar Abdalla aktivis Islam Liberal yang divonis hukuman mati juga dengan alasan agama Islam oleh para ulama terkemuka, sampai ancaman untuk menutup pesantren Al­Mukmin di Ngruki, Solo oleh polisi, meskipun ia tetap mengkritik pandangan Abu Bakar Ba'asyir dan pengikutnya. 
Wahid juga melakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan Saddam Hussein dalam berhadapan dengan kejahatann Presiden Amerika Serikat George W. Bush Jr., rakyat Palestina yang terus menerus menjadi bulan­bulanan Israel, serta rakyat tertindas di negara­negara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam globalisasi. Dan tentu saja, rakyat kecil yang menjadi korban kebijakan pemerintah sendiri. Mereka adalah rakyat Aceh yang terpaksa memilih bergabung dengan GAM, sebagian rakyat Papua yang terpaksa bergabung dengan OPM, serta rakyat Ambon yang menjadi korban rekayasa kekerasan. Begitu juga pemeluk agama minoritas, selalu menjadi subjek pembelaannya.
Satu hal yang dihindari Wahid ­yang memproklamirkan diri sebagai pengikut setia Mahatma Gandhi­ adalah kekerasan, termasuk yang dilakukan dari pihak korban. Hanya kalau orang Islam diusir dari rumahnya yang sah dengan semena­mena, kata Wahid menurut hukum Islam, mereka baru boleh melakukan kekerasan. 
Di samping itu, Wahid juga menghindari satu sudut pandang saja dalam melihat banyak hal, termasuk agama. Judul utama buku ini memperlihatkan bahwa pluralitas diutamakan 
 viii 
PEnGantaR
termasuk dalam melihat Islam: “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Tak ada satu Islam, Islam adalah multi wajah, wajah manusiawi. 
Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia. 
The Wahid Institute dengan senang hati mempersembahkan esai­esai ini yang ditulis Wahid pasca lengser dari kursi kepresidenan. Wahid Institute berhutang budi kepada banyak pihak, terutama kepada harian dan majalah yang tulisan­tulisannya dimuat dalam kumpulan ini; juga kepada mereka yang secara tekun mencatat, menyimpan dan memperbaiki jika perlu, atas semua naskah ini. Juga kepada Abdurrahman Wahid sendiri yang dengan rela memberikan naskah ini untuk diterbitkan. Terakhir rasa terima kasih yang besar disampaikan kepada Dr. M. Syafi’i Anwar Direktur ICIP (International Center for Islam and Pluralism), yang dalam kesibukannya menyelesaikan disertasi doktornya, masih menyempatkan diri untuk membaca, menseleksi dan memberikan saran perbaikan serta mensistematisasi dan memberi kata pengantar buku ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu. Kami hanya bisa mengucapkan semoga amal ibadah bapak ibu sekalian diterima oleh Allah Swt. Amiiin.

Selamat membaca,
Jakarta, Agustus 2006 the WAHID Institute

Hosting Unlimited Indonesia

Islamku, Islam A↭nda, Islam Kita
Membingkai Potret Pemikiran Politik 
KH Abdurrahman Wahid

Oleh M. Syafi’i Anwar

 ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya  pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid 
(Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di kawasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulisan disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indonesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih pagi, kira­kira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur. Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi ketika saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberitahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil saja, ya Mas ...sambil jalan­jalan ...,” ujarnya dengan rileks. 

Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan presiden RI ke­empat ini, meskipun senang juga karena Gus Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya, tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil dengan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang­orang yang ingin bertemu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orang­orang yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak apa­apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda di sini tidak banyak,” kata Gus Dur.
 Akhirnya saya pun tak dapat menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling naik mobil, berputar­putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu. 
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputarputar di kawasan tersebut, sementara saya sibuk merekam dan mencatat hasil wawancara. Kadang­kadang kami berdua tertawa tergelak­gelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumenargumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlamalama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang sudah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpulan artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa menggunting­gunting kumpulan tulisan itu.” 
Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apa­apa, di satu sisi saya merasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengantar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang terbatas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu tidak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi pernyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontroversial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin. 
Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan­jangan editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti justru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur adalah ulama­intelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas­batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1 
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh sejarah sebagai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang punya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju terhadap gagasan dan sepak terjangnya, tetapi kita tetap harus fair untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersama­sama dengan intekletual Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.2 
Karena itu ketika dia menawari untuk mengedit dan memberi kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma berkeyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, ketika tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman­teman, mereka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan agar saya mengerjakan pekerjaan editing dan memberi kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberikan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhammadiyah,” ujar Haidar. 
Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh­tokoh modernis Muslim, terutama Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan ketika menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh­tokoh Islam modernis, walaupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokoh­tokoh Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indonesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain­lain. Tentu saya juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan tokoh­tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual kepada mereka semua. 
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehormatan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sendiri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua pikiran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore, tahun 2004 yang lalu. 
Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, suntingan dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya kerjakan. 
Memperkuat Substansi Islam
Judul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih karena dapat menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan saja tidak linear, tetapi juga berproses. Itu terlihat misalnya dalam pengakuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai agama yang tengah mengalami perubahan­perubahan besar. Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahun­tahun 1950­an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada tahun 1960­an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Al­Azhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua negara tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970­an, Gus Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non­agama, bahkan juga pandangan dari agama­agama lain. 
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelektual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, sementara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan orang lain yang punya pengembaraan sendiri. Persoalan apakah pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sementara pengembaraan orang lain berakibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan orang lain. Orang justru harus bangga dengan pikiran­pikirannya sendiri yang berbeda dengan orang lain. 
Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur menyimpulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. Tetapi Gus Dur menyatakan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurut Gus Dur, “kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diformulasikan oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Adapun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan derivasi dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi tentang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Muslimin seluruhnya. Dalam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalaman yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari formulasi atas “Islam Kita”. Tetapi persoalan mendasar dalam konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus Dur bertentangan dengan semangat demokrasi. 
Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini, menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang Abdurrahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process of becoming), daripada “proses adanya” (process of being). Yang menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gus Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya sangat konsen dengan ideologisasi Islam. Tetapi setelah melalui pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkannya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tema­tema yang berorientasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pendidikan, bacaan, dan pengalaman seseorang bisa merubah pandangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli atau memaksakan penafsirannya kepada orang. 
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”. Ketidak setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya­upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non­Muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip­prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya­upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teksteks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya­upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam  sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah­langkah sejumlah pemerintah daerah dan 
DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja a­historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang­Undang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan). 
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan siasia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil­wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini berarti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon­calon raja dan sultan dalam sejarah Islam. 
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara­bangsa (nation-state), ataukah hanya negara­kota (city-state). 
Dari paparan tersebut di atas, cukup jelas kiranya ke arah mana alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemikiran politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, saya mengelompokan pemikirannya ke dalam tipologi pemikiran substantif­inklusif.4 Jika dalam aksi atau tindakan politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Muslimin. Paradigma itu adalah (1) substantif­inklusif, dan (2) legaleksklusif. 
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantifinklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep­konsep teoritis yang berhubungan dengan politik. Adapun ciri­ciri yang menonjol pada pemikiran substantif­inklusif ada empat. Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek­aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detil­detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain­lain.5 
Kedua, pendukung paradigma substantif­inklusif meyakini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi seperti halnya para nabi lainnya, yakni mendakwahkan nilai­nilai Islam dan kebajikan. 
Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain Fawzi al­Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda. 
Ketiga, para proponen paradigma substantif­inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Karena Islam dipandang semata­mata sebagai agama dan bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. Menurut Al Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan­tujuan yang benar dan orientasi­orientasi etis yang mulia.7 
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantifinklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam (Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi dan bukannya politisasi.8 
Sementara itu, paradigma legal­eksklusif mempunyai ciriciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legal­eksklusif dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat manusia. Para pendukung paradigma legal­eksklusif sepenuhnya yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din (agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. 
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legaleksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep­konsep politik Barat. Akibatnya, paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistemsistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam. 
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, dan dunia tersebut. Syari’at dengan demikian diinterpretasikan sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem­sistem dunia yang berlaku. 
Keempat, dalam konteks politik paradigma legal­eksklusif menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk­bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom­idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, pendukung paradigma legal­eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal. 
Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Islam tersebut di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur menolak formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam tersebut di atas. Jelas kiranya bahwa sebagai pemikir Islam substantifinklusif, kritik­kritiknya banyak diarahkan kepada pada pendukung paradigma legal­eksklusif, yang banyak dianut oleh kelompok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompok­kelompok revivalis lainnya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pandangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington, tentang Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:
“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical crossroad. Two choices or paths confront them: to pursue a traditional, static legal­formalistic Islam or to reclaim and refashion a more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation that Islam should form the basis for the nation-state’s political or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern tradition, alien to Indonesia. Indonesian Muslims should apply a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a society where “a Muslim and a non­Muslim are the same”, a state in which religion and politics are separate. Rejecting legal­formalism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid has spent his life promoting the development of a multifaceted Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of responding to the realities of modern life. Its cornerstones are free will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars (ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran 
 
and tradition of the Prophet in light of “ever changing human stations.”9
 
Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan, karena ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.
Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap kelompok tersebut, Gus Dur tetap menghargai perbedaan pendapat. Hanya saja, ketika sebagain dari kelompok itu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, ia nampak tidak mau kompromi. Ia memang anti kekerasan. 
HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia. Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka. Di negeri­negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,” tandasnya. 
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah) dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi hukuman mati.10
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah ditetapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif, termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak berarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan tentang murtad tersebut tidaklah bersumber pada Al Qur’an, tetapi dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits tersebut dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi kesalahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa menyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada firman Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at (maqâshid al-syarî’ah).
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang menyangkut hak asasi manusia seperti hak­hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non­Muslim, hingga kasus­kasus yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, misalnya, tanpa ragu membela Ulil Abshar­Abdala, intelektual muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhan­tuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar. 
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang dianggap melanggar batas­batas kesusilaan umum. Seperti biasa, para tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mereka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”, Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, sehingga hampir­hampir saja Inul putus asa dan menyerah. Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai penyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Di tengah kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan arus demi membela hak asasi Inul. 
Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai­nilai hak asasi manusia. 
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi 
Dalam konteks ekonomi­politik, implikasi dari penolakan Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menurut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada aspek­aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilainilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menurut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “ekonomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi substansinya. Untuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukungannya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahteraan rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan bentuknya. Oleh karena itu, acuan dan praktek perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifitas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa menerima pelaksanaan prinsip­prinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapitalistik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 
Dalam konteks tersebut di atas, ia tidak setuju dengan pandangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipungut dari upaya non­produktif, maka ia dapat dikatakan riba. Tetapi jika bunga bank tersebut merupakan bagian dari sebuah upaya produktif, maka ia bukan riba, tetapi merupakan bagian dari ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang kini banyak dilakukan oleh bank­bank swasta di mana pemilik sahamnya sebagian adalah non­Muslim. Menurut Gus Dur, kecenderungan seperti itu karena kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam seperti itu. 
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “demam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah media massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan, likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syari’at, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at” yang lebih didasarkan pada motif­motif ekonomi yang tunduk pada kepentingan pasar. 
Islam Radikal dan Pendangkalan Agama 
Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. Menurut Gus Dur, satu­satunya alasan penggunaan kekerasan 
 
yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. Tidak tanggung­tanggung, kecaman Gus Dur dialamatkan kepada kelompok­kelompok Islam “garis keras” yang beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang, celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe­kafe minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12 
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok­kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan kelompok­kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakangerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu­ilmu eksakta dan ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan­hitungan matematik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat­ayat suci Al Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah­kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks­teks yang ada.13 
Pandangan Gus Dur tersebut di atas, sebenarnya tertuju kepada kelompok­kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo­fundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan neo­fundamentalis Islam. Rahman menilai, keberadaan neo­fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neofundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual karena pandangan­pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke­Islaman klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neo­fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.
Pribumisasi, Bukan Arabisasi 
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata­kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolaholah kalau tidak menggunakan kata­kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke­Islaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu­satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi. 
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980­an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan­kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum­hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma­norma itu menampung kebutuhan–kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15
Mencari Perdamaian
Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian dan masalah­masalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia mendorong upaya­upaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia. Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperangan yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, militer AS berhasil menangkap hidup­hidup Saddam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ketika ia menurunkan kolom­kolomnya di media massa, dan juga perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertangkap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. Tetapi masalahnya tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan, masalah­masalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan tentara sekutu di negeri Seribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah drama peperangan, pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung. 
Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dinilainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Lee juga dikritik oleh Gus Dur karena pandangannya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni di Indonesia. Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah terhadap Islam di Indonesia itu karena kurangnya pengetahuan mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan Islam di Indonesia. 
Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh Gus Dur, tetapi dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih menyorot perlunya upaya­upaya untuk mengembangkan dunia yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan kekerasan. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan percaya bahwa agama maupun tokoh­tokohnya bisa berperan aktif dalam mengusahakan perdamaian dunia. Tetapi, seperti sebuah judul tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti halnya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang gampang dicetuskan, ketimbang usaha­usaha kolektif untuk mewujudkan perdamaian. 
Sebuah Bingkai Pemikiran 
Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran politik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai pemikirannya dengan utuh. Bisa jadi karena cakupan persoalan yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan ketersediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasangagasannya. Mudah­mudahan dengan penerbitan kumpulan tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis melalui kolom­kolom lepas di berbagai media.
Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa sekalipun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu tidak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpulan tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam ide maupun penyajian di sana­sini. Pengulangan itu dimungkinkan terjadi karena meskipun tema pokok atau topik yang diulas berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan kemungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu, produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lokal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undangan­undangan seminar atau pertemuan internasional, maupun untuk menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan sosial­politiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). 
Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dilakukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pemimpin serta politisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari  ide­ide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan. Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pengaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia lainnya. 
Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku penyunting, tulisan­tulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang dicerna. Mudah­mudahan ini bukanlah sebuah apologia karena ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi al sawab. 
Jakarta, akhir Maret 2005
 
Catatan:
1 Lihat Greg Barton dan Greg Fealy, eds., Nahdlatul Ulama, Tradisional Islam and Modernity in Indonesia, Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, 1966; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Jakarta Paramadina, 1999. Khusus tentang pemikiran dan kiprah Abdurrahman Wahid, lihat. hal.325­430 dan hal.488­501. 
2 Saya telah menulis analisis tentang pemikiran politik Nurcholish Madjid, Abdurrahmad Wahid, M. Amien Rais, A. Syafi’i Maarif, Moeslim Abdurahman, Kuntowijoyo, dan lain­lain dalam buku saya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. 
3 Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal. 313314. 
4 M. Syafi’i Anwar, op. cit., hal. 155­162. 
5 Husain Fawzi al­Najjar, al-Islam wa al-Siyasa: Bahth fi Usul al-Nazariyya al-Siyasiyya wa Nizam al-hukm fi al-Islam, Cairo: Dar al-Sha’b, 1977, hal. 74, dikutip dari Bassam Tibi, “The Idea of an Islamic State and the Call for the Implementation of the Shari’a”, sebagian dimuat dalam Middle East Information Center dari The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Available at http://middleeastinfo.org/article4480.html, pp.1­16. Untuk pembahasan lebih mendalam soal paradigma ini, lihat misalnya, Qamaruddin Khan, Political Concepts in the Qur’an, Lahore: Islamic Book Foundation, 1982, hal..75­76; Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Francisco: Holt, Rinehart, and Winston, 1966, hal. 101; Mohammed Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought,” dalam Klauss amd Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, London: Curzon Press, 1988, hal. 70­71, M. Din Syamsuddin, “Islamic Political Thought and Cultural Revival in Modern Indonesia”, Studia Islamika, Vol. 2, No.4, 1995, hal. 51­68. 
6 Husain Fawzi Al Najjar, op. cit.
7 Al­Ashmawi, Usul al-Shari’a, Cairo: Maktabat Madbuli, 1983, hal. 53 and 93, dikutip dari Bassam Tibi, op. cit.
8 M. Syafi’i Anwar, op. cit., hal. 144-145. Bandingkan dengan M. Din Syamsuddin, op. cit.hal. 51­68.
9 Lihat John L. Esposito, Unholy War: Terror in the Name of Islam, Oxford­New York: Oxford University Press, 2002, p.140.
10 Ibrahim Moosa, Islam Progressif: Refleksi Dilematis tentang Hak Asasi Manusia, Modernitas,dan Hak-Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (terj), Jakarta: ICIP, 2004, hal. 38. 
11 Ibid., hal. 40­41. 
12 Tindakan sweeping terhadap warga asing terutama dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam). Sementara itu, penting untuk dicatat sejak Soeharto tumbang di Indonesia hingga sekarang muncul kelompok­kelompok Islam “garis keras” semacam Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Ikhwanul Muslimin, Hammas, Lasykar Jundullah, dan sebagainya. Lasykar Jihad resmi membubarkan diri tahun 2002. Hingga sekarang yang nampak masih aktif dan terorganisir adalah FPI dan MMI. Buku yang mengulas hal ini adalah Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002. 
13 Untuk memahami gerakan Islam radikal atau fundamentalis Islam, ada sejumlah ciri penting yang melekat dalam kelompok ini. Ciri yang utamanya adalah berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Kecenderungan seperti itu, menurut mereka sangat perlu demi menjaga kemurnian doktrin Islam secara utuh (kaffah). Menurut kaum Islam radikal, doktrin­doktrin yang terdapat di dalam Qur’an dan Sunnah adalah doktrin yang bersifat universal dan telah mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bagi kelmpok Islam radikal fundamentalis yang penting adalah ketaatan mutlak kepada wahyu Tuhan, yang berlaku secara universal. Bagi kaum fundamentalis, iman dan ketaatan terhadap wahyu Tuhan sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an dan praktek Sunnah Nabi lebih penting daripada penafsiran­penafsiran terhadap kedua sumber utama pedoman kehidupan ummat Islam itu. Kecenderungan doktriner seperti ini terutama sekali dilandasi oleh sikap untuk memahami dan mengamalkan doktrin secara murni dan totalitas. Untuk uraian yang bagus mengenai hal ini, lihat William E. Shepard, “Islam and Ideology: Towards Typology” dalam International Journal of Middle Eastern Studies, No.19, 1987. Bandingkan dengan Bruce Lawrence, Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Against the Modern Age, New York: I.B. Tauris, 1990, hal.40. 
14 Fazlur Rahman, “Roots of Islamic Neo­Fundamentalism”, in Philip H. Stoddard, et.al., (eds), Change and the Muslim World, Syracuse, N.Y: Syracuse University Press, 1981. pp.25­26.
15 Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, eds, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hal. 82. M. Syafi’i Anwar, op. cit., 160. 
 
 
daftar Isi

Pengantar redaksi ~ v Pengantar M. syafi’i anwar ~ ix
daftar isi ~ xxxiii

BAB I ISLAM DALAM DISKURSUS IDEOLOGI, KULTURAL DAN GERAKAN ~ 1 - 78

Adakah Sistem Islami? ~ 3
Islam: Pengertian Sebuah Penafsiran ~ 8
Islam: Pokok dan Rincian ~ 12
Islam dan Deskripsinya ~ 17
Islam dan Formalisme Ajarannya ~ 21
Islam: Pribadi dan Masyarakat ~ 25
Islam: Sebuah Ajaran Kemasyarakatan ~ 30
Islam: Agama Populer Ataukah Elitis? ~ 34
Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya? ~ 38
Islam: Ideologis ataukah Kultural? (1) ~ 42
Islam: Ideologis ataukah Kultural? (2) ~ 46 Islam: Ideologis ataukah Kultural? (3) ~ 50 Islam: Ideologis ataukah Kultural? (4) ~ 54
Islam: Ideologis ataukah Kultural? (5) ~ 59
Islam: Gerakan ataukah Kultur? ~ 63
Islamku, Islam Anda, Islam Kita ~ 66
Kaum Muslimin dan Cita­Cita ~ 70
Islam dan Orientasi Bangsa ~ 74

BAB II  ISLAM, NEGARA DAN 
KEPEMIMPINAN UMAT 79-118

Negara Islam, Adakah Konsepnya? ~ 81
Islam dan Perjuangan Negara Islam ~ 85
Negara Berideologi Satu Bukan Dua ~ 89
Islam, Negara dan Rasa Keadilan ~ 92
Negara dan Kepemimpinan dalam Islam ~ 96
NU dan Negara Islam (1) ~ 100
NU dan Negara Islam (2) ~ 106
Islam: Perjuangan Etis ataukah Ideologis? ~ 111
Yang Terbaik Ada di Tengah ~ 116

BAB III  ISLAM, KEADILAN DAN HAK ASASI MANUSIA ~119- 158

Islam dan Hak Asasi Manusia ~ 121
Penafsiran Kembali Kebenaran Relatif ~ 124
Islam dan Kepemimpinan Wanita ~ 128
Islam dan Dialog Antar Agama ~ 133
Umat Buddha dan Kesadaran Berbangsa ~ 136
Islam dan Idiosinkrasi Penguasa ~ 138
Ulil dengan Liberalismenya ~ 142
Aceh, Kekerasan dan Rasa Kebangsaan ~ 147
Ras dan Diskriminasi di Negara Ini ~ 151
Keadilan dan Rekonsiliasi ~ 155

BAB IV  ISLAM DAN 
EKONOMI KERAKYATAN ~ 159 - 220

Islam dan Orientasi Ekonomi ~ 161
Islam, Moralitas dan Ekonomi ~ 164
Islam dan Keadilan Sosial ~ 168
Islam dan Masalah Kecukupan ~ 172
Islam dan Kesejahteraan Rakyat ~ 176
Islam: antara Birokrasi dan Pasar Bebas ~ 180
Islam dan Teori Pembangunan Nasional ~ 184
Islam dan Globalisasi Ekonomi ~ 188
Syari’atisasi dan Bank Syari’ah ~ 191
Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam? ~ 196

daFtaR IsI

Apakah itu Ekonomi Rakyat? ~ 200
Ekonomi Ditata dari Orientasinya ~ 205
Benarkah Harus ada Konsepnya? ~ 209
Kemiskinan, Kaum Muslimin dan Parpol ~ 213
Menyelesaikan Krisis Mengubah Keadaan ~ 217

BAB V  ISLAM, PENDIDIKAN DAN 
MASALAH SOSIAL BUDAYA ~ 221 - 288

Pendidikan Islam Harus Beragam ~ 223 
Bersabar dan Memberi Maaf ~ 228
Berkuasa dan Harus Memimpin ~ 231
Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan ~ 235
Agama Di TV dan Dalam Kehidupan ~ 239
Arabisasi, Samakah dengan Islami? ~ 243
Penyesuaian Ataukah Pembaharuan Terbatas? ~ 248
Pentingnya Sebuah Arti ~ 253
Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi ~ 257
“Tombo Ati” Berbentuk Jazz ~ 261
Dicari: Keunggulan Budaya ~ 265
Keraton dan Perjalanan Budayanya ~ 269
Akan Jadi Apakah Para Raja? ~ 274
Islam dan Marshall McLuhan di Surabaya ~ 277
Diperlukan Spiritualitas Baru ~ 280
Doktrin dan Tembang ~ 284

BAB VI   ISLAM TENTANG KEKERASAN DAN 
TERORISME ~ 289 - 352

Terorisme Harus Dilawan ~ 291
Terorisme di Negeri Kita ~ 295
Bersumber dari Pendangkalan ~ 299
NU dan Terorisme Berkedok Islam ~ 304
Bom di Bali dan Islam ~ 310
Benarkah Mereka Terlibat Terorisme? ~ 314
Benarkah Ba’asyir Teroris? ~ 319
Sikap yang Benar dalam Kasus Bali ~ 323
Kepala Sama Berbulu Pendapat Lain­Lain ~ 327
Tak Cukup dengan Penamaan ~ 332
Memandang Masalah dengan Jernih ~ 336
Kekurangan Informasi ~ 340
Gandhi, Islam dan Kekerasan ~ 345
Berbeda Tetapi Tidak Bertentangan ~ 349

BAB VII ISLAM, PERDAMAIAN DAN 
MASALAH INTERNASIONAL ~ 353 - 405

Kita dan Perdamaian ~ 355
Perdamian Belum Terwujud Di Timur Tengah ~ 360
Dicari Perdamaian Perang Yang Didapat ~ 365
Kita dan Pemboman Atas Irak ~ 370
Saddam Hussein dan Kita ~ 374
Adakah Perdamaian Di Irak? ~ 378
Dapatkah Kita Hindarkan Perang Dunia Ke Tiga?~ 382
Haruskah Ada Kesepakatan? ~ 392
Pertentangan Bukanlah Permusuhan ~ 396 Indonesia­Muangthai: Sebuah Kemungkinan Memperluas Kerjasama ~ 400
Pembentukan Sebuah Forum Di Bangkok ~ 403

LAMPIRAN ~ 407 - 411
 

 

 
 
Adakah sistem Islami?

Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi alsilmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208)1. Di sinilah ter­
letak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam 
 
 Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahan­kesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah­kaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaffah” tidak hanya merupakan tinda kan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom “Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaffah’ dalam ayat tersebut sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam “udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “as­silmi”. 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol­parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non­muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan­ketentuan non­organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prinsip­prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. 
Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al­
adakaH sIstEm IslamI?
Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masing­masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya ti dak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem. 
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam sela ma berbulan­bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda­beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orang­orang non­muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari­hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan­kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.

Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan­badan formal Islam bukanlah satu­
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur­jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah 
  Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqî al­Dîn Ahmad Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M), adalah salah seorang intelektual Islam dari Syiria yang menuntut dibukanya kembali pintu ijitihad. Ibnu Taimiyah juga menjadi salah seorang pelopor pemurnian Islam dan berpengaruh sangat luas, terutama di daratan Arab. Pemikiran­pemikirannya menjadi inspirasi antara lain bagi gerakan Wahabiyah di Arab Saudi abad XVIII dan para pemikir pembaharu di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karya Ibnu Taimiyah yang berpengaruh antara lain, al-Radd ‘alâ al-Manthiqiyyîn (Bantahan terhadap Ahli Logika) dan al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian). Pemikirian Ibnu Taimiyyah ini banyak ditelanjangi dalam studi pesantren lewat karya An­Nabhany yang berjudul Syawahidul Haqq yang sama sekali tidak memberikan celah lolosnya pemikiran­pemikiran Ibnu Taimiyyah. Hanya saja ada yang dilupakan oleh komunitas pesantren bahwa nama Ibnu Taimiyyah ini banyak mewarnai pemikiran­pemikiran murid terkasihnya yang bernama Ibnu Katsir yang dikenal sebagai tokoh tafsir bil ma’tsur yang menjadi referensi wajib dan populer di pesantren. Disamping itu itu lewat karya spesifiknya yang berjudul “Iqtidlo’us Shirat al-Mustaqim Fie Mukhalafati Ahl al-Jahim”, Ibnu Taimiyyah termasuk dalam barisan ulama yang “menghalalkan” ritual tahlil dan hadiah bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang sudah meninggal dan yang paling populer adalah dia juga penganjur tarawih 20 raka’at. 
adakaH sIstEm IslamI?
sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak­pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang­Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang­Undang (UU) di pihak lain. 
 
bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan statemen yang sekarang dibuat sebagai landasan politis­ideologis ini. Bahkan jika ditelusuri dari perspektif edisi original version­nya, nampak sekali bahwa Umar tidak bermaksud untuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan tetapi lebih pada jaring pengaman sosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumah­rumah ketika Umar menjadi khalifah. Kondisi saat itu menunjukkan adanya kecenderungan merusak tatanan sosial kemasyarakatan “Arab mini”. Statemen lengkap Umar adalah sebagai berikut:
An Tamim Ad-Dariy qala: Tathawala an-nas fil al-bina fi zamani Umar, faqala Umar: Ya ma’syara al-uraib, al-ardla al-ardla, fainnahu la Islama illa bi Jama’ah, wala Jama’ata illa bi Imarah wala Imarata Illa bi tha’ah, faman sawwadahu qaumuhu ala al-fiqh kana hayatan lahu wa lahum, wa man sawwadahu qaumuhu ala ghayri fiqhin kana halakan lahu wa lahum. 
Artinya: Dari Tamim ad­Dari, dia berkata: Pada masa Umar, orangorang bermegah­megah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian Umar berkata: Wahai komunitas Arab kecil. Lihatlah tanah itu, lihatlah tanah itu, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan komunitas dan tidak ada komunitas kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada imarah kecuali dengan taat. Barang siapa oleh komunitasnya dipercaya untuk memimpin mereka dengan berdasarkan pemahaman yang benar, maka hal itu akan menjadi kehidupan bagi dirinya dan komunitasnya, dan barang siapa dipercaya komunitasnya untuk menjadi pemimpin mereka dengan tidak berdasar pada pemahaman yang benar, maka itu akan menjadi kerusakan untuk dirinya dan komunitasnya.
 
Islam: 
Pengertian sebuah Penafsiran

Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menurunkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghfiru liman yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau belum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara sebagai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan hukum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan hukuman mati jika ia ragu­ragu, benarkah si terdakwa nyata­nyata bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan Allah tidak dapat dibatasi.
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa hal­hal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan pertanyaan adakah negara agama atau tidak? Jawaban yang salah akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan perenungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan berdiri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.

Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apa­apa kita sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya konsepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam  mencari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan motif­motif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seperti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partai­partai politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan politik di tingkat nasional.
Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai sebagai aspirasi­aspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diingini adalah fungsi federal dari pemerintahan, bukannya separatisme Indonesia untuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada orang­orang yang menghendaki Indonesia dalam bentuk federatif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
perhatian besar.
Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan mayoritas suara bagi partai­partai politik yang hanya menginginkan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penunjukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah, dan bukannya pada pemerintah pusat.

Karena ketidakmampuan memahami hal ini, maka para eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkepingkeping menjadi sekian negara yang masing­masing berdaulat. Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancis­pun memberikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing­masing. Bahkan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara kesatuan dapat saja menampung aspirasi­aspirasi federal. Singkatnya, negara federal bukanlah negara federatif.
Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan kesalahpahaman sangat besar antara partai­partai politik yang mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai NKRI. Kedua­duanya memiliki baik legitimasi maupun kepentingan masing­masing tentang konsep negara yang dikehendaki. Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap yang lain dalam hal ini, dan lebih­lebih untuk menyifati gagasan NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling menyalahkan, padahal kedua­duanya saling menyepakati perlunya sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian in­
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
dependensi seperti yang dimaksudkan diatas.
Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilangan komunikasi dan sosialisasi me ngenai kedua hal di atas. Kita lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sangat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi  penyebab dari krisis multi­dimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi, bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik tersebut dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita? 
 
 
Islam: 
Pokok dan Rincian

Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka se­
lalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut menyatakan; “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî alsilmi kâffah)” (QS. al­Baqarah [2]: 208), yang jelas­jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotongpotong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok­kelompok lain. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan dalam kitab suci tersebut; “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin. 
Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; “Hari ini telah Ku­sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku­tuntaskan bagi kalian pemberian nikmatKu dan Ku­relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS al­Maidah [5]:3) Firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Is­
Islam: Pokok dan RIncIan
lam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu akan kehilangan kredibilitas.
Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang tidak dapat ditawar­tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS at­Taubah [9]:41).

Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara Islam tersebut –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepenuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “perintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru sebaliknya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam? Karenanya, kedua “perintah sistemik” tersebut dalam pandangan penulis artikel ini haruslah dipahami bersama­sama “perintah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai pengertian yang benar­benar rasional dan utuh. Cara yang pertama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi dan sama sekali tidak rasional.
“Perintah­perintah sistemik” lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana 
 
yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min al-ghayyi)” (QS al­Baqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci “Bagi kalian agama kalian dan bagi­ku agama­ku (lakum dînukum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci alQur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin” kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri­sendiri. Dalam pandangan penulis, kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)­nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya sendiri.
Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II (1962­1965)  di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk 
Islam: Pokok dan RIncIan
mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada dalam Gereja Katolik Roma.”  Sekarang, gereja tersebut merupakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, walaupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vatikan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara­protokoler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan (infallible)”  sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak dikenal oleh Islam.

Dengan melihat kepada “kenyataan” tersebut, jelaslah bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus membuat komunitas masing­masing, dan merumuskan “kewajiban­kewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memiliki kemampuan. 
Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hak­hak dan kewajiban­kewajiban perorangan (individual) dan secara bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti ini harus terus­menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami ucapan Umar bin Khattab ketika menjabat khalifah bertujuan sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah).”
Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam artian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolektif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya. 
Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah sebagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia di timur hingga Gibraltar di barat, negara­bangsa (nation-state) di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state) di kawasan­kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimitas yang sama dalam pandangan Islam. 
Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga diikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masyarakat­masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun masyarakat­masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan BangsaBangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam tahun­tahun 1980­an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.  Mudah mengatakannya, sulit membuat pusat­pusat kajian seperti itu, bukan? 
 
Islam dan deskripsinya

Djamil Suherman  menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi 
Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti H.B. Jassin,  sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren. Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menentukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren dan jaringan­jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita­cerita silat/kungfu karya Chin Yung , yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe , kedua bahasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).
Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis , menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan pemecahan rasional atas krisis multi­dimensional yang dihadapi lembaga pondok pesantren di kawasan tersebut. Nada lebih mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah digumuli.
Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pondok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis yang berlarut­larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.
Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50 atau 60­an, John Mills  yang menjadi Pendeta Keogh berusaha 
Islam dan dEskRIPsInya
melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogarde7 yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhirnya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi Kristen sungguh­sungguh karena pengorbanan Pendeta Mills dan bukan karena "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbahkan pendeta tersebut.
Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih berpengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pilihan­pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama tersebut.
Dalam kenyataan sehari­hari kita melihat pentingnya arti deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”.  Akibat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi universal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah proses yang dijalani secara berbeda­beda oleh orang­orang yang berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataan­kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.
Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu 
 
garis. Pernah mendapatkan Oscar dalam salah satu filmnya. Film dengan judul The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun 1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film tetapi tidak lagi setenar sebelumnya.
7 Sir Dirk Bogarde (1921­1999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Belanda ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk bergabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia pernah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia dan Jawa. Dirk menulis ‘A Gentle Occupation’,  buku semi biografi–fiksi yang menceritakan pengalamannya bertugas di Jawa.
pihak dan pendekatan idealisme­universal di pihak lain, penting untuk sama­sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.
Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Islam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah seolah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu bagaimana sumber­sumber tekstual (adillah naqliyyah) membentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab­sebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum? Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang berjudi untuk mencari kekayaan dengan cepat?
Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal­formalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga penelitian dewasa ini diuji. 
 
ISLAM dan Formalisme ajarannya

Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhatihati dalam merumuskan orientasi paham ke­Islaman, agar tidak mengalami nasib seperti paham komunisme.
Orientasi paham ke­Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja kata “maslahah ‘ammah”,  yang berarti kesejahteraan umum. Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindakan yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci dalam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” 
Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih).”  Artinya, menghindari hal­hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati)  sebagai Presiden negara, hingga dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.

Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/keutuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi pegangan gerakan­gerakan Islam di negeri kita semenjak dahulu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) dari Undang­Undang Dasar (UUD) kita. 
Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 
Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta tersebut dari UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal­usul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia. 
Islam dan FoRmalIsmE ajaRannya
Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),  itu jelas menonjolkan semangat persatuan Indonesia pada tingkat paling tinggi. Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang digambarkan dengan indahnya oleh James Siegel   dalam The Rope of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktekpraktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi saling pengaruh­mempengaruhi yang sangat halus antara budaya daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.
Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi Tabot  di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya daerah setempat di hadapan tindakan­tindakan “budaya Sunni” dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” sebagai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai budaya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang terjadi.

Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat kitab suci al­Qur'an “Dan dalam diri utusan Tuhan benar­benar telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan tanda­tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21). Dalam  kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.
Hal­hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan­gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah mementingkan formalisasi ajaran­ajaran agama tersebut dalam kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama tersebut menjadi sumber inspirasi bagi gerakan­gerakan Islam dalam kehidupan bernegara, seperti di negara ini.
Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya mengilhami juga lahirnya partai­partai CDU (Christian Democratic Union, Uni Demokratik Kristen) , di Jerman dan sejumlah negara lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, daripada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. 
 
Islam: Pribadi dan masyarakat

Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua 
hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan mendalam akan agama tersebut. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memerlukan pengembangan. Pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa agar saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât [49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.
Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sangat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanita­wanita, dua, tiga atau empat orang wanita (tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)” (QS al­Nisa [4]:3).  Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilakukan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih banyak kaum perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.

Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana 
yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru (al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd al-ashlah).” 

Islam: PRIbadI dan masyaRakat

Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki kedua dimensi tersebut. Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum­kaum sebelum kalian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min qablikum)” (QS al­Baqarah [2]:183). Perintah yang sepintas lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumbersumber tertulis (dalil naqli).
Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan adanya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur (uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk orang­orang bersalah? 
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfiyah (literalis), karena tidak akan tercapai kesepakatan kaum muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan? Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama halnya   seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib bersekolah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air 
 
bil jadid al-ashlah/ menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sebagai “konsumen” barang baru. Sebenarnya kebanyakan komunitas muslim masih terhenti pada “al-muhafadlatu ala al-qadim al-salih/ menjaga warisan­warisan yang lama” dengan bernaung dibawah label “as-salaf as-salih” tanpa berani melangkah progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology. 
adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan min al-îmân).”  Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersamaan.
Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak menunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”  Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan Nabi Muhammad Saw tersebut jelas­jelas menunjukan, kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan non­agama juga. Bukankah di tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non­agama? Perumusan sikap oleh para ahli agama Islam tersebut, yaitu kewajiban menuntut disiplin ilmu non­agama, memberikan kedudukan yang sama diantara keduanya. 
Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik berupa ayat­ayat kitab suci al­Quran maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, akan memiliki peluang­peluang yang sama bagi pendapat­pendapat yang saling berbeda, antara universalitas se­
Islam: PRIbadI dan masyaRakat
buah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan janganlah terpecah­belah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). 
Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecah­belahan adalah sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus dibedakan dari pertentangan dan keterpecah­belahan dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab suci tersebut, bukan? 
 
 
Islam: 
sebuah ajaran kemasyarakatan
C
harles Torrey menyatakan dalam disertasinya , kitab suci al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena, 
seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilahan profesional untuk menyatakan hal­hal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS ali­Imran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan istilah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?
Istilah­istilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka ia akan melipat­gandakan imbalannya (man dzalladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS al­Baqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke­
sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi. 
Ketika Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Ku­tambahi panenannya (man kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS al­Syura [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilah­istilah perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesi­profesi manusia.
Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orangorang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS al­Baqarah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika mengucapkan prasetia? 

Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakan­kebijakan dan tindakan­tindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsabangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalah­masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsabangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah­masalah profesionalisme. Dengan sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaran­ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain. 
Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyyatin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS al­Nisa [4]:86). Jika ayat ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau barang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian  baik yang diucapkan. 

Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu janganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau.
Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan­gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.
Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusanNya sebagai pungutan fai’ dari kaum non­Muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, utusan­Nya, sanak keluarga terdekat, anak­anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian (mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)” (QS al­Hasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci tersebut daripada masalah bentuk negara. 
Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.  
 
Islam: 
agama Populer ataukah Elitis?
P
ada tahun­tahun 50­an dan 60­an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr. Thaha Husein,  salah seorang tuna netra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahanperubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak­sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah dan al-barzanji  sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang ini.
aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
Nama­nama terkenal seperti Syauqi Dhaif  dan Suhair al­Qalamawi  muncul sebagai bintang­bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra­Islam (‘asr al-jâhiliyah).
Dalam pandangan ini, produk­produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru tersebut. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan, halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di negeri­negeri Arab selama dua puluh lima tahun.

Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga berkembang. Persamaannya dengan pandangan anti­tradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa­bangsa Mesir, yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyentuh pikiran­pikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya, agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama). Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena kedua­duanya harus berhadapan dengan modernisme non­ideologis yang datang dari Barat, dalam 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragmatisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimiliki orang­orang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti­Barat, anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat melihat kedangkalan dua paham tersebut.
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajak­sajak Arab tradisional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik kita dewasa ini. Hal ini karena, pembaharuan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama. 

Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata­semata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena selama ini percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai ideologisasi­agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta. 
Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyumbang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimana­
aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
pun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen­elemen positif dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur­unsur irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai­nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti halnya dengan kontra­reformasi yang dijalani oleh gereja Katolik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi — misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, sama­sama rasionalnya dalam penyampaian pesan­pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur­unsur rasional ke dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan, baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.
Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu? 
 
Islam: 
apakah Bentuk Perlawanannya?
P
ada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hi­
dayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar untuk menyambut terbitnya sebuah buku  tentang diri beliau, yang memang benar­benar merupakan karya berbobot ilmiah dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. Karya tersebut memerlukan sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu (2001) dan dimakamkan di desa tersebut. Sebagai penghafal alQur’ân  beliau memimpin sebuah pesantren di desa tersebut dan mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam bahasa pesantren  dikenal dengan istilah akhlakul karimah.
aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh disertasi  Dr. Soebardi ; juga ceritera ketoprak dan ceritera­ceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang beliau dan  terutama tulisan­tulisan beliau sendiri. Yang tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan Dr. Abdul Djamil,  Rektor IAIN Walisongo di Semarang.  

Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan penelitian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerintahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anarki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min lailatin bila sulthan).”  Sikap ini merupakan sebuah kenyataan tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.
Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersikap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu pemberontakan di beberapa tempat dalam abad tersebut. Dalam pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama­sama bersifat politis, bila dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu yang memilukan di waktu itu.

Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perlawanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.
Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas­jelas menentang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada penguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. Mutamakin mengembangkan sikap kultural  di atas, yakni  pilihan alternatif  yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin­pemimpin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang 
aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)  masa itu menampilkan perlawanan kultural terhadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru dimatikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi organisasi non­politis, seperti NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif­alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasi­organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif­legislatif­yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka UndangUndang. 
Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu dirintis KH. A. Mutamakin? 
 
Islam: 
Ideologis Ataukah Kultural? (01)
D
alam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bahkan di acara lainnya justru orang­orang non­muslim  yang membawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi khazanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sajak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fakta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama (bahr) tradisional tersebut, tampak jelas telah dianggap sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.
Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu­puja dalam qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anak­anak muda NU setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu. 
 
al? (01)
Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu) Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi manifestasi budaya Indonesia, menunjukkan perkembangan sejarah yang sangat penting. 

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan namanama di Gedung DPR/MPR­RI kita. Gedung yang megah itu diharuskan menggunakan nama­nama dalam bahasa Sansekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/ MPR sebagai institusi produk Undang­Undang Dasar (UUD), lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata­kata yang dipakai, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan, wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam bahasa kita adalah kata­kata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk hal­hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.
Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari kata­kata Arab dan kemudian dari kata­kata Sansekerta, menunjukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau itu kita kaitkan dengan bidang­bidang lain, akan lebih besar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian seharihari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (fiqh). Namun karena perluasan pemakaiannya yang meliputi produk­produk yang dihasilkannya, akhirnya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
dan undang­undang agama (canonical law), berkembang menjadi hukum –yang berarti undang­undang dan peraturan negara. Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasa­bahasa Eropa modern.
Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasa­semu (meta language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotak­kotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutannya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman, yang terjadi  dalam kehidupan kita sebagai bangsa. 

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari­hari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDI­P DPR­RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi. 
Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis de Tocquevile  menerbitkan bukunya tentang demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan tentang jenis­jenis dan jangkauan proses tersebut dalam kehi­
al? (01)
dupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pengertian di kalangan gerakan­gerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan ideologi agama ke da lam kehidupan negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian, para warga negara lain yang non­muslim dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham atau berideologi non­agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini? Ini adalah pertanyaan­pertanyaan dasar yang harus dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benarbenar demokratis di masa depan. 
 
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (02)
P
ada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri ini diatur 
oleh Undang­Undang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup masyarakat. Demikian halnya dengan Indonesia, tentu masyarakat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan non­formal dengan mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, tulisan ini mencoba menyoroti hal itu, agar kita tidak terus­menerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan­kesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing­masing yang saling berbeda. Sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikem­
al? (02)
bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak ratusan tahun yang lalu.  Sementara APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universitas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

Perbedaan  sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing­masing. Tiongkok sebagai negara daratan (land-based country) dan Indonesia sebagai negara maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaan­kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing­masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakrakusuma  dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya.
Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya. Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class).
Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun, masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan­bawahannya, juga tidak kita ketahui.
Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilainilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.

Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu,  bertambah nyata persamaan maupun perbedaan sistem­sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan. Bagaimana masing­masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial Hindia­Belanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan­catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan 
al? (02)
sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaan­perbedaan sejarah di dua orkestra­kamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang wajar. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan  untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula. 
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam sebagai bangsa yang sama­sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical development) yang berbeda.  
 
Islam: 
Ideologis ataukah kultural? (03)
B
eberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkumpulan lain yang non­politis. Ketika hal itu ditanyakan pada 
penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini berarti Anda menerima pandangan mereka?
Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum muslimin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.
Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal, dan di Pakistan mereka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam 
al? (03)
Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis.

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan­perkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam UndangUndang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang­Undang Dasar­nya diubah menjadi UndangUndang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak? 
Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mereka yang bercita­cita mendirikan negara Islam tidak  akan memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.
Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966  harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme­Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum 
Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan
apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama) . Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk­produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.

Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Prinsip  ini penting diingat oleh lembaga lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh Undang­Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan. 
Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi kepada  generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin  dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV  di Surakarta. Sedang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Kesultanan Demak (memerintah tahun 1550­1582) yang digulingkan oleh Sutawidjaya , pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih 
al? (03)
keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.
Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partai­partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan penulis itu? Pemilu adalah satu­satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat itu.  Sejarahlah yang akan menjawab  
 
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (04)
Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang humaniora  di Universitas Soka Gakkai, Tokyo, baru­baru ini, penulis mengemukakan dalam sambutannya bahwa  sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang dipimpin oleh Perdana Menteri  India Atal Behari Vajpayee. Dan, didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan  di negeri itu, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, setahun sebelum NU lahir (tahun 1926).
Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penulis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara. Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya dalam bentuk pertanyaan seperti itu.
Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB), 
al? (04)
adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non­agama dalam kehidupan politik, di negara­negara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasardasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran­ukuran ideologis­agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di sinilah terletak perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun sama­sama berasal dari wahyu yang satu.

Kita harus jeli membaca sejarah bangsa­bangsa di dunia, untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandarkan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena itu,  kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang di dasarkan pada ajaran­ajaran umum semua agama. Kejujuran, kesungguhan kerja dan pertanggungan­jawab secara jujur kepada nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian moralitas umum agama­agama. Karenanya, pemakaian agama untuk menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan bukannya dicurigai.
Antonio Gramsci  mengemukakan gagasan sosialisme yang penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran besar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marxisme­Leninisme yang sarat dengan ketentuan­ketentuan organi­


Semoga bermanfaat.

Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama