Lahir: 1803, Kabupaten Sambas
Meninggal: 1875, Mekkah, Arab Saudi
Kebangsaan: Indonesia
Tahun wafat (H): 1289
Tahun wafat (M): 1872
Tempat wafat: Makkah
Berikut ini secara lengkapnya ;
Ahmad Khatib as-Sambasi dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan Safar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.
Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.
Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.
Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib as-Sambasi menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya.
Kunjungi juga : https://kata-h.blogspot.com/2020/08/imam-muslim.html
Pendidikan
Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.
Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.
Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesiabermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam arti intelektual), yang juga sebagai seorang sufi(dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Kunjungi juga: https://kata-h.blogspot.com/2020/08/sejarah-berdirinya-pesantren-pertama-di.html
Dakwah, ketokohan & pengaruh
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin oleh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Tarekat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyahmempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifinyang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.
Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun ia juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.
Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Ia selain amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Desember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281.
Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.
Ajaran
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyahmemiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyahmempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
Pandangan Filosofis
Pandangan filosofis Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengenai hubungan kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim mahupun dengan yang bukan muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian Tanbih berikut:
- Terhadap orang-orang yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling menghargai.
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati bergotong- royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;
- Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah menghinanya atau berbuat tidak senonoh bersika angkuh, sebaliknya harus bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan;
- Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan.
Kisah Tokoh
Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan hidup Syekh Ahmad Khatib Sambas. Alkisah ketika beliau masih berumur empat atau lima tahunan, saat dini hari akhir Ramadhan, beliau menemani pamannya mengambil wudhu untuk shalat tahajjud.
Saat itu, sang paman melepaskan songkok putih dari kepalanya dan meletakkannya di kayu. Namun Syekh Ahmad Khatib yang masih kecil melihat songkok tersebut terbang, sedangkan pohon-pohon kayu di sekitarnya seperti bersujud.
Sang paman mengetahui bahwa malam tersebut adalah malam Qadar, lalu beliau berdoa agar keponakannya (Ahmad Khatib) menjadi wali-Nya kelak. Setelah peristiwa itu Ahmad Khatib kecil melakukan hal-hal di luar kebiasaan/menyalahi adat.
Beberapa waktu kemudian, karamah Syekh Ahmad Khatib Sambas pun terlihat. Tiba-tiba, pohon asam yang terletak di tepi rumahnya berbunga dan berbuah luar biasa, padahal saat itu bukan musimnya. Buah yang terletak di kanan Ahmad Khatib kecil itu rasanya sangat manis, padahal sebelumnya tidak semanis itu. Sedangkan buah yang terletak di sebelah kirinya rasanya sangat asam, padahal sebelunya tidak seasam itu.
Pada suatu hari ia pergi ke Masjidil Haram, salah satu ulama besar di Mekah saat itu, Syekh Daud al-Fatani mempunyai firasat bahwa seorang Jawi ini (Syekh Ahmad Khatib Sambas) akan menjadi berguna/seorang yang besar di kemudian hari.
Syekh Daud al-Fatani membawanya dan mendidiknya. Ilmu yang seharusnya dipelajari selama 30 tahun bisa diselesaikan oleh Ahmad Khatib selama 3 tahun saja. Syekh Daud adalah seorang Syekh Mursyid Kamil Mukammil dalam Tarekat Syathariyyah. Setela belajar dengan Syekh Daud, Ahmad Khatib belajar dengan Syekh Syamsuddin.
Dari seluruh murid Syekh Syamsuddin, hanya Ahmad Khatib yang dianggap pantas untuk menggantikan jika sang guru meninggal kelak. Sejak itu, Ahmad Khatib Sambas diberi gelar Syekh Mursyid Kamil Mukammil dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah.
Ahmad Khatib Sambas memiliki beberapa karya yang berpengaruh, salah satunya ialah Fath al-‘Arifin (kemenangan orang-orang yang Arif) yang menjelaskan unsur-unsur dasar doktrin sufi sebagai janji kesetiaan (baiat), mengingat Tuhan (dzikir), perenungan (muraqabah), dan rantai atau silsilah spiritual Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah.
Murid-murid Ahmad Khatib antara lain Syekh ‘Abd al-Karim al-Banteni (Kiai Agung) yang nantinya akan meneruskan kepemimpinan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, juga Kiai Tolhah dari Cirebon dan Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, kedua tokoh terakhir ini merupakan ilmuwan. Fakta ini menyimpulkan bahwa ilmuwan tidaklah bertentangan atau bermusuhan dengan tarekat-tarekat.
Adapun murid-murid beliau yang lain ialah Syekh Nuruddin asal Filipina dan Syekh Muhammad Saad dari Sambas yang menyebarkan tarekat dari kalangan awam. Lalu ada Syekh Haji Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad dari Tasikmalaya yang mendirikan Pondok Pesantren Tasikmalaya pada hari Kamis 7 Rajab 1323 (5 September 1905), dan masih banyak lagi muridnya yang terus mengajarkan ajaran Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah.
Wallahu A’lam.
Semoga bermanfaat.
Tags
KISAH HIKMAH